EFEK PROTEIN PADA RANSUM AYAM
KAMPUNG BETINA
TERHADAP ENERGI METABOLIS
Arman Ndruru,
¹ Prof. Dr. Ir. Achmanu Zakaria, ²
Akadyah Afrila, S.Pt, MP
Fakultas Peternakan Universitas
Tribhuwana Tunggadewi Malang
RINGKASAN
Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium
Lapang Terpadu
Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang,
penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai Maret 2012.
Sedangkan analisis energi metabolis dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi
dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui level protein
yang memberikan pengaruh
terhadap energi metabolis pada ayam kampung betina.
Materi yang digunakan adalah ayam
kampung persilangan antara ayam Kedu
dengan ayam Bangkok, dengan jenis kelamin betina sebanyak 20 ekor. Ayam yang
digunakan adalah ayam kampung betina berumur 60 hari dengan rata-rata bobot badan
ayam kampung 760.55 gram dan koefisien keragaman 11.64%. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
percobaan hayati dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Dengan 4 perlakuan yaitu P1, P2, P3, P4 dan masing- masing
perlakuan diulang 5 kali.
Pakan perlakuan yang digunakan terdiri dari : P1 : Protein Kasar 20%, P2 :
Protein kasar 19%, P3 : Protein Kasar 17% dan P4 : Protein Kasar 17%. Variabel
yang diukur dalam penelitian ini adalah analisa kandungan N pakan, Ekskreta dan
nilai AMEn.
Hasil analisa menunjukan bahwa penggunaan level
protein yang berbeda antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak nyata
(P<0,05) terhadap kandungan N dalam ekskreta dan nilai AMEn.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa level protein
yang berbeda pada ransum tidak memberikan pengaruh terhadap nilai AMEn.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk
melakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh tingkat Energi Metabolis
terhadap pertumbuhan ayam kampung betina dengan menggunakan objek yang sama dan
kajian yang lebih beragam.
Kata kunci : Ayam Kampung, Energi Metabolis
PENDAHULUAN
Ayam kampung
merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan
masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras),
atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat
genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi ayam buras dijumpai di
kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk meningkatkan gizi
masyarakat dan menaikkan pendapatan peternak.
Diakui atau
tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal itu terlihat
dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun (Anonimous.,2011). Hal ini terlihat dari
peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2001 –
2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 – 2009 konsumsi ayam
kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton (wahyu, 2002). Mempertimbangkan potensi itu,
perlu diupayakan jalan keluar untuk meningkatkan populasi dan produktivitasnya.
Kondisi
yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam kampung adalah
rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem pemeliharaan yang masih
bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi dan pemberian
pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi (Parakkasi, 1990), terutama sekali
pemberian pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk
berbagai tingkat produksi. Keadaan tersebut disebabkan karena belum cukupnya
informasi mengenai kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung. Peningkatan populasi,
produksi dan efisiensi usaha ayam kampung, perlu ditingkatkan dari tradisional
ke arah agribisnis (Murtidjo, 2006).
Keberhasilan
suatu usaha peternakan sangat ditentukan oleh tiga faktor yang sama pentingnya,
yaitu : Breeding, Feeding dan Management. Namun, dilihat dari total biaya
produksi dalam usaha peternakan, maka kontribusi pakan yang tinggi yaitu
sekitar 60-70%. Kenyataan dilapangan menunjukkan masih banyak peternak yang
memberikan pakan tanpa memperhatikan kualitas, kuantitas dan teknik pemberiannya.
Mengingat biaya
pakan dapat mencapai 60-70% dari keseluruhan biaya produksi (Murtidjo, 2006)
maka salah satu alternatif adalah menekan biaya pakan dengan cara meramu
sendiri bahan pakan dan tanpa menggunakan bahan pakan dari pabrik.
Sampai saat ini standar gizi ransum ayam
kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al.
(1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi
termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein
pakan antara 18% - 21,4% sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi
termetabolis dan protein masing - masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar tersebut
sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan
protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah tropis belum ada. Oleh
sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu
diteliti.
Manajemen
pemberian ransum yang tepat dibutuhkan untuk mendukung produksi karena terkait
dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi ayam petelur. Manajemen pemberian ransum
yang diterapkan oleh peternak pada umumnya adalah dengan mengatur jumlah porsi
pemberian ransum 2 kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan siang. Manajemen
pemberian ransum yang diterapkan beberapa peternakan ayam petelur berbeda-beda,
khususnya porsi pemberian ransum pagi dan siang, antara lain 50 : 50, 40 : 60,
60 : 40, atau 30 : 70 (Indreswari, 2007).
Apakah
level protein ransum yang berbeda dapat memberikan perbedaan pengaruh terhadap
nilai energi metabolis pada ayam kampung betina.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mencari dan mengetahui level protein yang
memberikan hasil terbak terhadap energi metabolis pada ayam kampung betina.
Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khasanah ilmiah maupun penerapannya
bagi para petani peternak. Dari aspek ilmiah hasil penelitian ini diharapkan
menambah informasi tentang kebutuhan nutrisi ayam kampung, dan tentunya yang
akan memberikan pengaruh secara ekonomis terhadap peternak ayam kampung
tersebut.
Berdasarkan
masalah yang telah diuraikan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah level protein pada ransum ayam kampung betina tidak
memberikan pengaruh terhadap nilai energi metabolis.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium
Lapang Terpadu
Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang,
penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Maret 2012.
Sedangkan analisis energi metabolis dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi
dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
Materi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam kampung persilangan antara ayam Kedu dengan ayam
Bangkok, dengan jenis kelamin betina sebanyak 20 ekor. Ayam yang digunakan
adalah ayam kampung betina berumur 60 hari dengan rata-rata bobot badan ayam
kampung 760.55 gram .
Kandang yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kandang individu atau kandang baterai supaya mudah dalam
proses penampungan ekskreta ayam. Kandang sebanyak 20 petak dengan ukuran tinggi 40 cm, lebar 18 cm, dan panjang masing – masing 60 cm
dimana setiap petak diisi 1 ekor ayam
dan masing – masing petak dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, wadah untuk menampung
ekskreta dan penerangan lampu pijar, timbangan yang
digunakan untuk menimbang ayam dan ekskreta ayam yang diteliti serta peralatan
prosesing ayam meliputi : timbangan analitik,
plastik untuk menanpung ekskreta dan sendok sedangkan Peralatan
kebersihan kandang meliputi : sapu, ember, sakop.
Pakan
perlakuan adalah pakan dengan tingkat protein berbeda yaitu 20,19,18 dan 17%.
Kandungan zat makanan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1 berikut
Tabel 1. Susunan
Ransum Perlakuan
Bahan
pakan
|
|
|
Komposisi
|
Bahan
|
|
|
P1
Protein 20 %
|
P2
Protein 19 %
|
P3
Protein 18 %
|
P4
Protein 17 %
|
Jagung Kuning
|
-
|
60
|
60
|
61,3
|
64
|
Bekatul
|
-
|
7
|
8,6
|
9,4
|
9,4
|
Konsentrat Comfeed
|
-
|
22
|
22
|
22
|
20
|
Minyak Kelapa Sawit
|
-
|
2
|
2,6
|
2,7
|
2,8
|
Usfa Mineral
|
-
|
0,5
|
0,5
|
0,5
|
0,5
|
Bungkil Kedelai
|
-
|
8,5
|
6,3
|
4,1
|
3,3
|
Total
|
-
|
100
|
100
|
100
|
100
|
Hasil
Perhitungan
EM (Kkl
/ Kg)
Protein Kasar (%)
Lemak Kasar (%)
Serat Kasar (%)
Kalsium (%)
Pospor (%)
|
2815
20,197
6.7213
3.6735
2.3567
0,2855
|
2827,2
19,136
7.5252
3.6051
2.3385
0,2771
|
2821
18,119
7.7732
3.523
2.3305
0,2696
|
2838,3
17.145
7.9089
3.4642
2.2083
0,2583
|
Keterangan : Hasil
perhitungan berdasarkan kandungan bahan pakan tabel 1 diatas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi
kebutuhan energinya dan
akan berhenti makan apabila kebutuhan energinya telah terpenuhi. Namun, energi
dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian
akan dibuang melalui feses dan urin. Data konsumsi pakan dan bobot ekskreta dapat dilihat pada tebel 2
berikut.
Tabel 2. Konsumsi pakan
dan Bobot ekskreta ayam
kampung betina
Perlakuan
|
Jumlah pakan
|
selama penelitian
|
Bobot
Ekskreta/BK
|
d
|
Pemberian/hr/ekor
|
Kons 3 hari/BK
|
P1
|
45
|
114.88
|
38.20±0.84
|
0.30±0.01
|
P2
|
45
|
114.67
|
37.60±1.14
|
0.29±0.01
|
P3
|
45
|
114.28
|
37.40±1.14
|
0.29±0.01
|
P4
|
45
|
114.54
|
36.50±1.12
|
0.28±0.01
|
Keterangan : rataan bobot ekskreta dalam 1 kg bahan
pakan
Tabel
2
menunjukkan bahwa rataan bobot ekskreta adalah rata-rata 29.94
gram. Ditinjau dari bobot ekskretanya, diindikasikan kecernaan pakan pada
penelitian ini cukup baik, dikarenakan ditinjau dari defenisi kecernaan pakan
yang dinyatakan oleh Murdiati (2002), adalah menghitung banyaknya zat-zat
makanan yang di konsumsi dikurangi dengan bnyaknya zat makanan yang dikeluarkan
melalui feses. Selain itu, bobot ekskreta menunjukkan bahwa pakan yang tidak
tercerna dan tidak diperlukan dalam tubuh ayam tidak terlalu banyak sesuai
dengan pendapat Kartasudjana (2002) yang menyatakan bahwa zat makanan yang
terdapat di dalam ekskreta dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak
diperlukan kembali.
Konsumsi
setiap bahan pakan atau ransum menurut
Frandson (1992), di pengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan,
komposisi bahan pakan atau ransum, tingkat pemberian pakan, temperatur
lingkungan dan umur ternak. kecernaan pakan berarti juga kecernaan bahan pakan
yang memiliki kandungan nutrisi berbeda. Salah astu kandungan nutrisi pakan
yang penting untuk diketahui tingkat kecernaannya adalah Gross Energy (GE).
Pada
perhitungan ini digunakan metode perhitungan EM dengan AMEn. Hasil perhitungan
nilai AMEn dalam penelitian ini disajikan pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Rataan nilai nitrogen pakan , nitrogen ekskreta dan nilai AMEn
Perla
|
N
|
T
|
AMEn
|
P1
|
3.66±0
|
3.87±0
|
2997.86±89.47
|
P2
|
3.50±0
|
3.87±0
|
2874.84±78.18
|
P3
|
3.30±0
|
3.76±0
|
2864.72±55.24
|
P4
|
3.15±0
|
3.28±0
|
2856.65±39.69
|
Keterangan :
N : Nitrogen Pakan
T : Nitrogen Ekskreta
AMEn: Apparent
Metabolizable Energy terkoreksi nilai N
Table 3 ,menunjukkan nilai nitrogen dari pakan berkisar antara 3,66 dari perlakuan P1 (protein tertinggi) - 3,15 didapat pada perlakuan P4
(protein rendah). Sedangkan nilai nitrogen ekskreta berkisar antara 3,87 dari perlakuan P1 – 3,28 dari perlakuan P4. Tidak banyaknya perbedaan nitrogen dari ekskreta
dengan nitrogen dalam pakan disebabkan karena dalam ekskreta selain zat makanan
yang tidak tercerna juga tercampur dengan reruntuhan sel, mukrosa usus, endogen
pencernaan dari urin yang semuanya juga mengandung nitrogen.
Berdasarkan
hasil
tersebut, maka dapat diketahui kandungan N dalam ekskreta berada pada kisaran
3,28 – 3,87 % dan kandungan N dalam pakan berada pada kisaran 3,15 – 3,66 %.
Tabel 8 menunjukkan data kandungan N tertinggi dalam pakan adalah pada pakan
perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan kandungan protein kasar
pakan perlakuan tertinggi di antara pakan perlakuan, ini sesuai juga
dengan kondisi yang terjadi dengan
kandungan N dalam ekskreta yang berurutan dari P1 sampai dengan P4 . Tingginya
kandungan N pakan dan N ekskreta P1 sesuai dengan rataan nilai AMEn yang juga
menpunyai nilai tertinggi diatara perlakuan.
Hal
ini disebabkan karena perbedaan jenis kelamin dan daya cerna pakan yang berbeda
pula. Ditambahkan dengan pendapat rasyaf
(1992) yang menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan
kebutuhan protein, dan oleh Pesti (2009), dikarenakan level protein yang berbeda dalam pakan merupakan
pembatas dalam pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan merupakan
pertimbangan utama.
Hasil
analisa yang ditunjukkan pada tabel 3
menunjukkan bahwa nilai AMEn antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang
nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Achmanu (1992), yang menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis dapat digolongkan dalam 2
faktor, yaitu faktor dalam atau intristik yang berkaitan dengan pembawaan
genetis sehubungan dengan tipe, bangsa, strain, umur dan jenis kelamin serta
faktor luar atau ekstrinsik yang merupakan faktor luar tubuh unggas misalnya
jenis bahan pakan, penggunaan metode determinasi serta lingkungan yang
berhubungan dengan ketinggian tempat. Ditambahkan oleh fadilah (2004), yang
menyatakan bahwa energi yang diperlukan ayam berbeda, sesuai dengan tingkat
umur, jenis kelamin dan cuaca.