BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ayam
kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan
masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras),
atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat
genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi ayam buras dijumpai di
kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk meningkatkan gizi
masyarakat dan menaikkan pendapatan keluarga.
Diakui
atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal itu
terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun (Bakrie et al.,2003). Hal ini terlihat
dari peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun
2001 – 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 – 2009
konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton (Aman,
2011). Mempertimbangkan potensi itu, perlu diupayakan jalan keluar untuk
meningkatkan populasi dan produktivitasnya.
Ayam
kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan
diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta
cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot
yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping,
kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara
merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi.
Kondisi
yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam kampung adalah
rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem pemeliharaan yang masih
bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi dan pemberian
pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi (Gunawan, 2002; Zakaria,
2004a), terutama sekali pemberian pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan
zat-zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Keadaan tersebut disebabkan
karena belum cukupnya informasi mengenai kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung.
Peningkatan populasi, produksi dan efisiensi usaha ayam kampung, perlu
ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004b).
Secara
umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama minggu awal (0-8 minggu)
dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang cukup mengandung
energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Faktor lainnya
adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen pemeliharaan ayam kampung
harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan (Setioko dan Iskandar, 2005;
Sapuri, 2006).
Sampai
saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan
rekomendasi Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al.
(1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara
2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18% - 21,4% sedangkan menurut NRC
(1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing - masing 2900 kkal/kg
dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar
kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah
tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam
kampung di Indonesia perlu diteliti.
Melihat
proses metabolisme dan mengadakan pelacakan terhadap nutrien dalam tubuh ternak
yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk pertumbuhan maupun
fungsi-fungsi lain, maka kebutuhan nutrien khususnya energi dan protein pada
ayam kampung dapat ditetapkan. Pelacakan terhadap nutrien tubuh ternak yang
disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk menentukan kebutuhan
nutrien, diharapkan dapat meningkatkan perkembangan serta produktifitas ayam
kampung. Berdasarkan kondisi tersebut maka permasalahan yang dihadapi didalam
pengembangan ayam kampung adalah : belum adanya data tentang kebutuhan nutrien,
khususnya energi dan protein untuk produksi.
Produktivitas
ternak merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi, sedangkan faktor lingkungan
merupakan faktor pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan
kemampuannya. Faktor lingkungan yang perlu mendapat perhatian utama adalah
ransum Keunggulan genetik suatu bangsa ternak tidak akan ditampilkan secara
optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Faktor lingkungan memberi
pengaruh lebih besar terhadap produktivitas dibanding faktor genetik. Hal ini
ditunjukkan dengan tingkat heretabilitas produksi telur untuk ayam petelur
hanyalah 0,15 (Amrullah, 2003)
Manajemen
pemberian ransum yang tepat dibutuhkan untuk mendukung produksi karena terkait
dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi ayam petelur. Manajemen pemberian ransum
yang diterapkan oleh peternak pada umumnya adalah dengan mengatur jumlah porsi
pemberian ransum 2 kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan siang. Manajemen
pemberian ransum yang diterapkan beberapa peternakan ayam petelur berbeda-beda,
khususnya porsi pemberian ransum pagi dan siang, antara lain 50 : 50, 40 : 60,
60 : 40, atau 30 : 70 (Indreswari, 2007).
Peternakan
di daerah dataran tinggi yang suhu lingkungannya termasuk kisaran nyaman,
berapapun porsi yang diberikan selama kadar nutriennya sesuai dengan kebutuhan
ayam, maka tidak akan berpengaruh terhadap prosesproses fisiologis dalam tubuh.
Lain halnya untuk peternakan di daerah dataran rendah dengan suhu udara yang
lebih tinggi dari suhu nyaman ayam petelur, sangat dimungkinkan porsi pemberian
ransum pagi dan siang berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis tubuh. Hal
ini berkaitan dengan mekanisme pengaturan panas dalam tubuh.
Proses
pencernaan yang berlangsung pada suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu
nyaman ayam akan menurunkan nilai kecernaan. Menurut Zainuddin dkk (2000),
cekaman panas akan menghambat suplai nutrien ke jaringan tubuh terutama untuk
pembentukan telur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa cekaman panas akan menurunkan
aliran darah ke saluran pencernaan sampai 50% seperti pada proventrikulus,
gizzard, dan pankreas, sedangkan laju aliran darah pada bagian atas duodenum
dan jejunum menurun sampai 70% selama cekaman panas. Hal ini akan berdampak
pada penurunan efisiensi dari pencernaan, absorpsi dan transport nutrien. Di
sisi lain penggunaan energi ransum menjadi tidak efisien sehingga akan
berpengaruh terhadap produksi.
Porsi
pemberian ransum yang tepat diharapkan mampu meningkatkan efisiensi penggunaan
energi dan kecernaan nutrisi yang pada akhirnya akan tetap menjaga stabilitas
produksi telur. Berdasarkan uraian tersebut kiranya diperlukan sebuah kajian
untuk memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh porsi pemberian ransum
terhadap konsumsi ransum dan nilai energi metabolis yang pada akhirnya akan
mempengaruhi produktivitas ayam kampung betina.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah
level protein ransum yang berbeda dapat memberikan perbedaan pengaruh terhadap
nilai energi metabolis pada ayam kampung.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari
dan mengetahui level protein yang memberikan pengaruh terhadap
energi metabolis pada ayam kampung betina.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khasanah ilmiah maupun penerapannya
bagi para petani peternak. Dari aspek ilmiah hasil penelitian ini diharapkan
menambah informasi tentang kebutuhan nutrisi ayam kampung, dan tentunya yang
akan memberikan pengaruh secara ekonomis terhadap peternak ayam kampung
tersebut.
1.5
Hipotesis
Level protein pada ransum ayam
kampung betina dapat memberikan perbedaan pengeruh terhadap
nilai energi metabolis.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Ayam Kampung
Ayam
kampung merupakan salah satu jenis ternak
unggas yang telah memasyarakat dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi
masyarakat Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung"
semula adalah kebalikan dari istilah "ayam ras", dan sebutan
ini mengacu pada ayam yang ditemukan berkeliaran bebas di sekitar perumahan.
Namun demikian, semenjak dilakukan program pengembangan, pemurnian, dan pemuliaan
beberapa ayam lokal unggul, saat ini dikenal pula beberapa ras unggul ayam
kampung. Untuk membedakannya kini dikenal istilah ayam buras (singkatan dari "ayam bukan ras") bagi ayam
kampung yang telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik budidaya
(tidak sekedar diumbar dan dibiarkan mencari makan sendiri). Peternakan ayam
buras mempunyai peranan yang cukup besar dalam mendukung ekonomi masyarakat
pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkunganan
pemeliharaannya relatif lebih mudah. Sumbangan ayam kampung terhadap produksi
daging ayam adalah 250.000 ton per tahun atau 33.46 % dari total produksi
daging unggas. Sedangkan produksi telurnya mencapai 96.000 ton per tahun atau
setara dengan 31.34 % dari total produksi telur .
Faktor pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang
penting untuk diperhatikan. Pada periode pertumbuhan yang cepat, ayam kampung
sangat sensetif
terhadap tingkat nutrisi, terutama kandungan protein. Semakin banyak protein
digunakan untuk pertumbuhan makin sedikit energi berasal dari protein. Bila
diharapkan sebagian besar protein digunakan untuk pertumbuhan, maka energi
metabolis harus cukup berasal dari karbohidrat dan lemak (Fadillah. 2004). Kebutuhan
protein dan energi metabolisme untuk ayam kampung dapat di lihat pada Tabel. 1
dibawah ini.
Tabel. 1
Kebutuhan Protein dan Energi Metabolisme untuk Ayam Kampung
|
Fase pemeliharaan
|
Protein (%)
|
Energi metabolisme (kkal/kg)
|
|
Brooding (1-14 hari)
|
22
|
3050
|
||
Starter (14-30 hari)
|
20
|
3100
|
||
Grower (31-60 hari)
Finisher (>61hari)
|
19
|
2900
|
||
16 - 18
|
3000
|
|||
Sumber : (Wahyu,
2002)
|
||||
2.2 Bahan Penyusun Ransum
Pakan adalah ransum yang terdiri
atas campuran beberapa bahan makanan yang diberikan dalam pemeliharaan ayam,
khususnya pada budidaya ayam kampung dengan teknologi semi intensif dan
intensif. Sampai saat ini pakan menjadi masalah utama dalam usaha peternakan
ayam, karena 70 - 80 persen biaya produksi ditentukan oleh biaya pakan. Menurut
Murtidjo (2006), biaya makanan merupakan suatu faktor pembatas utama terhadap
daya produksi, oleh karena itu agar usaha peternakan memperoleh keuntungan yang
lebih besar maka peternakan tersebut harus benar-benar memperhatikan upaya
mengefisienkan penggunaan input pakan, baik jumlah pakan yang diberikan maupun mutu dari pakan tersebut,
yang tentu saja akan memperbaiki pendapatan peternak.
Ayam
kampung yang diberi makan cukup dan teratur bisa tumbuh baik dan bertelur lebih
banyak. Menurut Santoso (1996), untuk ayam kampung yang berumur satu hari
sampai empat bulan rata-rata pakan yang dihabiskan mencapai 3.9 kg per ekor.
Dengan pemberian semacam ini ayam mulai dapat bertelur pada umur 7 - 8 bulan.
Disamping itu perbandingan zat-zat makanan
yang terkandung di dalam ransum harus baik kualitasnya dan seimbang. Wahyu
(2002) menyatakan bahwa ada hubungan antara kandungan energi dalam ransum
dengan konsumsi ransum. Penelitian pada beberapa ransum yang mengandung tingkat
energi antara 2800 sampai dengan 3300 kkal/kg ransum menunjukkan bahwa makin
tinggi kandungan energinya maka makin sedikit jumlah ransum yang, dikonsumsi. Penelitian mengenai
pengaruh berbagai tingkat energi dalam ransum terhadap performans ayam pedaging yang dilakukan Togotorof (1981) menghasilkan
kesimpulan bahwa tingkat energi ransum sangat nyata mempengaruhi pertambahan
berat badan ayam. Tujuan pengelolaan pakan adalah untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan bahan baku, meningkatkan kualitas pakan dan memperbaiki penyediaan
pakan. Pembuatan pakan murah diupayakan dengan memanfaatkan bahan yang ada di
sekitar lokasi intensifikasi ayam kampung dan sarana pembuat pakan produksi
lokal. Untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan ayam kampung maka dapat
dilihat pada tabel 2 berikut berikut.
Tabel 2. Konsumsi pakan dan berat ayam kampung
standart
Umur
|
Konsumsi Pakan
|
Berat Badan
|
(Minggu)
|
(gr/ekor/mgg)
|
(gram/ekor)
|
1
|
50
|
80
|
2
|
90
|
120
|
3
|
160
|
210
|
4
|
260
|
280
|
5
|
260
|
350
|
6
|
290
|
460
|
7
|
340
|
520
|
8
|
390
|
590
|
9
|
440
|
640
|
10
|
480
|
700
|
11
|
530
|
760
|
12
|
590
|
810
|
Sumber : (Wahyu, 2002)
Pelihara
ayam buras (kampung) Pada prinsipnya macam - macam zat gizi yang dibutuhkan
ayam buras sama dengan yang dibutuhkan ayam ras yaitu :
a. Protein
b. Vitamin
c. Energi (Karbohidrat dan lemak)
d. Mineral dan
e. Air.
Jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh kedua
jenis ayam tersebut mungkin berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebutuhan zat gizi untuk ayam buras lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan
ayam ras. Oleh karena itu penggunaan 100% ransum ayam ras komersial untuk ayam
buras merupakan pemborosan karena pertumbuhan maupun produksi telur masih jauh
di bawah pertumbuhan maupun produksi telur ayam ras. Hal ini dikarenakan
keterbatasan kemampuan genetis ayam buras. Banyak faktor yang mempengaruhi
kebutuhan nutrisi, diantaranya :
a.
Jenis ternak
b.
Umur unggas
c.
Lingkungan, terutama cuaca
d.
Tingkat produksi
Bahan pakan merupakan
sumber utama kebutuhan nutrisi ayam untuk keperluan hidup pokok dan
produksinya. Berbagai jenis bahan pakan dapat diklasifikasikan atas dua macam,
yaitu :
1. pakan nabati
2. pakan hewani
Bahan pakan nabati adalah bahan pakan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Bahan pakan nabati ini umumnya mempunyai serat kasar tinggi,
misalnya dedak dan daun-daunan yang suka dimakan oleh ayam buras. Disamping itu
bahan pakan nabati banyak pula yang mempunyai kandungan protein tinggi seperti
bungkil kelapa. bungkil kedele dan bahan pakan asal kacang-kacangan. Dan tentu
saja kaya akan energi seperti jagung
dan lain-lain (Tilman dkk, 1991).
Bahan pakan hewani adalah bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan,
termasuk ikan dan olahannya. Bahan pakan asal hewan ini umumnya merupakan
limbah industri, sehingga sifatnya memanfaatkan limbah. Bahan pakan hewani yang
biasa digunakan adalah tepung ikan, tepung tulang, tepung udang, tepung kerang,
cacing, bekicot, serangga dan lain-lain (Murtidjo, 2006). Secara umum, bahan makanan asal nabati dan
olahannya mencapai 60 – 80% dari total makanan yang diberikan kepada ayam,
selebihnya adalah bahan makanan asal hewan.
Bahan
penyusun ramsum pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Jagung Kuning
2.
Bekatul
3.
Kosentrat Comfeed
4.
Minyak Kelapa Sawit
5.
Usfa Mineral
6.
Bungkil Kedele
2.2.1 Jagung Kuning
Jagung merupakan salah satu bahan penyusun ransum ayam
pedaging. Jagung adalah sumber karbohidrat yang mempunyai proporsi cukup besar
dalam penyusunan ransum. Karbohidrat mempunyai manfaat penting bagi tubuh ayam
pedaging seperti menyediakan energi untuk proses metabolisme (Anggorodi, 1990).
Vitamin A atau karotenoid dan vitamin E terdapat dalam komoditas ini, terutama
pada jagung kuning. Selain fungsinya sebagai zat gizi mikro, vitamin tersebut
berperan sebagai antioksidan alami yang dapat meningkatkan imunitas tubuh dan
menghambat kerusakan degeneratif sel. Jagung juga mengandung berbagai mineral
esensial, seperti K, Na, P, Ca, dan Fe. Faktor genetik sangat berpengaruh
terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional (Murtidjo, 2006). Komposisi
kimiawi jagung lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel. 2
Tabel 3. Komposisi Kimia Jagung
Bahan pakan
|
Bahan kering
(%)
|
Protein kasar (%)
|
EE
(%)
|
Serat kasar (%)
|
Abu
(%)
|
BETN
(%)
|
Jagung
|
86,0
|
8,9
|
4,0
|
2,2
|
1,7
|
68,8
|
Sumber: Murtidjo. (2006)
Keterangan = EE = Ether Extract
BETN
= Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen
2.2.2 Bekatul
Bekatul atau dedak halus sudah lama dipakai sebagai
campuran pakan ternak seperti bungkil jagung dan kedelai. Selain harganya
murah, Rp1.200 - Rp1.500/kg, kadar protein yang dikandung kulit bulir padi itu
cukup tinggi mencapai 10-12%. Pemakaian bekatul mencapai 20-30% dari total
pakan, bekatul mudah tengik karena memiliki ikatan asam lemak tidak jenuh
(Anonimous, 2010). Kelemahan lain, bekatul mengandung asam phytat. Asam phytat
ini merupakan zat antinutrisi yang mampu berikatan dengan protein dan mineral
seperti Ca, P, Fe, Zn, dan Mg. Sekitar 50-80 % phosphorus yang
terkandung dalam bahan pakan berasal dari tumbuhan tersimpan dalam bentuk
phytat, atau asam phytat. dan komponen ini tidak dapat dicerna oleh unggas maupun babi karena hewan tersebut
tidak memiliki enzim untuk mencerna asam phytat(Anonimus,
2010).
Kandungan
nutrien yang terdapat di bekatul yang berkualitas baik dapat dilihat pada
Tabel. 2 ( NRC, 2004 ) :
Tabel 4.
Kandungan Bekatul
Kandungan
|
Presentase
(%)
|
|
PK
|
9-12
|
|
Pati
|
15-35
|
|
Lemak
|
8-12
|
|
SK
|
8-11
|
Sumber : NRC ( 2004 )
Menurut hasil penelitian bahwa kurang lebih 8-8.5%
dari berat padi adalah bekatul (Anonimous, 2004) Dengan angka tersebut maka
kita dapat memprediksi potensi suatu daerah untuk menghasilkan bekatul.
Misalnya suatu daerah untuk suatu periode panen menghasilkan 1000 ton padi maka
dapat diperkirakan daerah tersebut mampu menghasilkan 80 – 85 ton bekatul
(Anonimous, 2004).
Nutrien yang terdapat di bekatul yang berkualitas
baik antara lain Protein kasar 9-12 %, pati 15-35 %, lemak 8-12% serta serat
kasar 8-11% (NRC, 2004) Dengan kandungan serat kasar yang lebih tinggi dari
pada jagung atau sumber energi yang lain maka menyebabkan bekatul diberikan
dalam jumlah yang terbatas tergantung pada jenis ternaknya. Sebagai komoditi
yang cukup terbatas ketersediaannya karena tergantung pada musim panen padi
serta sifatnya yang mudah rusak, serta menjadi kebutuhan utama bagi peternak
yangmembuat pakan campuran sendiri sehingga mendorong tingginya harga jual
bekatul di pasaran. Hal yang demikian tersebut dimanfaatkan para penjual maupun
pengepul bekatul untuk memanipulasi isi bekatul tersebut sehingga akan didapat
keuntungan yang lebih banyak lagi. Ada beberapa bahan yang sering digunakan
untuk memanipulasi jagung seperti sekam giling,
limestone, zeolite, dan limbah tepung tapioca (Anonimous, 2004).
Komponen
utama dari bekatul adalah karbohidrat yaitu sekitar 40-49 %, karena bekatul
tersusun dari endosperm (Ciptadi dan Nasution, 1991) yang disitasi oleh
Taurusi, 1993). Selanjutnya dilaporkan bahwa ditinjau dari komposisinya, bekatul
merupakan makanan yang mempunyai nilai kalori tinggi, dengan monosakarida
penyusun karbohidrat berupa glukosa, galaktosa, xylosa dan fruktosa (Sarwono,
2006).
2.2.3 Bungkil Kedele
Kacang
kedelai mentah tidak dianjurkan untuk dipergunakan sebagai pakan ayam karena
kacang kedelai mentah mengandung beberapa trypsin, yang tidak tahan terhadap
panas, karena itu sebaiknya kacang kedelai diolah lebih dahulu. Bungkil kedelai
merupakan limbah pembuatan minyak kedelai, mempunyai
kandungan protein ± 42,7% dengan kandungan energi metabolisme sekitar 2240 Kkal/Kg, kandungan serat kasar rendah, sekitar 6%. Tetapi kandungan methionisne rendah. Penggunaan bungkil kedelai dalam ransum ayam dianjurkan tidak melebihi 40%, sedang kekurangan methionisme dapat dipenuhi demi tepung ikan atau methionisme buatan pabrik.
kandungan protein ± 42,7% dengan kandungan energi metabolisme sekitar 2240 Kkal/Kg, kandungan serat kasar rendah, sekitar 6%. Tetapi kandungan methionisne rendah. Penggunaan bungkil kedelai dalam ransum ayam dianjurkan tidak melebihi 40%, sedang kekurangan methionisme dapat dipenuhi demi tepung ikan atau methionisme buatan pabrik.
2.3. Kecernaan Ayam Kampung
Kecernaan adalah bagian zat
makanan dari pakan yang tidak disekresikan dalan feses dan makanan yang diserap
atau dicerna oleh tubuh dari saluran pencernaan. Satuan pengukurannya disebut
Koefesien Cerna yang penyajiannya dalam satuan persen %. Kecernaan zat makanan merupakan proses
perombakan ukuran bobot makanan secara fisik dan kimiawi dan ukuran partikelnya
menjadi lebih kecil serta zat akan terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana
dan bobot molekul rendah ( misalnya protein menjadi asam amino ). Perbedaan
kecernaan bahan makanan pada hewan terjadi karena perbedaan anatomi dan
fisiologi dari saluran pencernaan Wahyu, (2002). Kecernaan setiap bahan makanan
atau ransum dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi
bahan makanan atau ransum, tingkat pemberian makanan, temperatur lingkungan dan
umur hewan Frandson. ( 1992 ) Kecernaan
dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai suatu bahanpakan ternak (Abun dan Indriani. 2003).Selanjutnya
dinyatakan bahwa:
a. Semakin
tinggi nilai kecernaan suatu bahan makanan, makin besar zat-zat makanan yang
diserap.
b. Tingginya
kandungan zat-zat makanan, jika nilai kecernaannya rendah maka tidak akan ada
gunanya.
c. Untuk
mengetahui seberapa besar zat-zat yang dikandung makanan ternak yang dapat
diserap untuk kebutuhan pokok, pertumbuhan dan produksi.
Menurut Riyanti
(2000) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat
makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di
dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan
kembali (Kartasudjana. 2002)
Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat
pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat
makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan
saluran pencernaan Kartasudjana. (
2002 ) Dinyatakan oleh Wahyu, (2002
)yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan melalui alat
pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap
perbandingan dari zat makanan lainnya. jenis kelamin, umur dan strain mempunyai
pengaruh terhadap daya cerna protein dan asamasam amino, tetapi pengaruhnya
tidak konsisten Abun Denny, ( 2003). Pada unggas
terdapat alat pencernaan berotot (setelah proventikulus/lambung) yaitu (Gizard)
yang berfungsi sebagai tempat penggilingan dengan otot dibantu grit
(keriklil/pasir). Perombahkan secara kimia menggunakan bantuan enzim yang
dikeluarkan oleh saluran pencernaan (hidrolisis) dan enzim mikroba dalam
saluran pencernaan (fermentasi).
Uji kecernaan pada unggas
mempunyai masalah ( terutama kecernaan protein), maka perlu dilakukan dua
alternatif pemecahannya yaitu :
- Nitrogen dan urine ( berupa asam
urat ) dianalisis secara kimia, kemudian dijadikan koleksi terhadap
nitrogen feses.
- Dilakukan pembedahan dengan
memisahkan saluran urine dan feses.
Pengukuran
kecernaan ini meliputi :
a.
Pendahuluan, 7 – 10 hari
bertujuan untuk pembiasaan terhadap pakan yang diuji dan menghilangkan pengaruh
pakan sebelumnya.
b.
Koleksi, 5 – 15 hari yaitu :
1.
Pencatatan jumlah konsumsi
pakan setiap hari
2.
Pencatatan jumlah produksi
feses setiap hari
3.
Pengambilan dan pencatatan
cuplikan feses sebanyak 10 % dari feses harian.
4.
Cuplikan feses dikeringkan
atau dijemur setiap hari
5.
Cuplikan feses disatukan
selama periode pengamatan
6.
Cuplikan feses dan pakan
atau ransum dianalisis kimia dan energinya.
2.3.1.
Deskripsi
Energi Metabolis
Menurut Aggorodi (1985) Energi Metabolis merupakan
energi makanan dikurangi energi yang hilang dalam feses, pembakaran gas-gas dan
urin. Adapun gas-gas yang dihasilkan
unggas dapat berupa uap air, gas amoniak (NH3), asam sulfide (H2S) dan metana
(Sibbald, 1982). Achmanu (1992)
menyatakan bahwa untuk unggas dan monogastrik gas-gas hasil proses pencernaan
dapat diabaikan. Energi metabolis memperlihatkan nilai suatu bahan makanan
untuk memelihara suhu tubuh. Sejalan dengan pendapat Cullison (1982) yang
mengemukakan bahwa energi metabolis adalah energi yang digunakan untuk memetabolisme
zat-zat makanan dalam tubuh, satuannya dinyatakan dengan kilokalori per
kilogram. Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan Scott ett al (1982)
bahwa energi metabolis merupakan energi yang dipergunakan pada pembentukkan dan
perobakkan zat-zat makanan dalam tubuh. Menurut Wahyu (1997) bahwa nilai Energi
Metabolis dan beberapa bahan makanan dapat diperbaiki dengan pengolahan.
Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan
energinya dan akan berhenti makan apabila kebutuhan energi telah terpenuhi.
Namun, energi dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena
sebagian akan dibuang melalui feses dan urin. Sejalan dengan pendapat Scott ett
al. (1982) oleh karenanya, penyusunan ransum untuk unggas terutama ayam
sebaiknya didasarkan pada perhitungan energinya (Scott et all., 1982). Tingkat
energi dalam ransum menentukan banyaknya makanan yang dikonsumsi. Konsumsi
ransum umumnya meningkat jika ransum yang diberikan mengandung nilai energi
yang rendah.
2.3.2. Sistem
Pencernaan Ayam Kampung
Sistem pencernaan merupakan sistem yang
terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam
proses perombakan bahan makanan, baik secara fisik, maupun kimia menjadi
zat-zat makanan yang siap diserap oleh dinding saluran pencernaan ( Parakkasi,
1990 ). Menurut Anggorodi
( 1985 ) pencernaan adalah penguraian bahan makanan ke dalam zat-zat
makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh
jaringan-jaringan tubuh. Saluran pencernaan dari semua hewan dapat dianggap
sebagai tabung yang dimulai dari mulut sampai anus yang fungsinya dalam saluran
pencernaan adalah mencernakan dan mengabsorpsi makanan dan mengeluarkan sisa
makanan sebagai tinja. Unggas khususnya ayam kampung mempunyai saluran
pencernaan yang sederhana karena unggas merupakan hewan monogastrik ( berlambung
tunggal). Saluran-saluran pencernaan pada ayam kampung terdiri dari mulut,
esophagus, proventriculus, usus halus, ceca, usus besar, dan kloaka ( Murdiati
2002 ).Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan ternak mamalia
atau ternak ruminansia, karena pada unggas tidak memiliki gigi untuk melumat
makanan, unggas menimbun makanan yang dimakannya dalam bentuk tembolok, suatu
ventrikulum (pelebaran) esophagus yang tak terdapat pada ternak non-ruminansia
lain seperti kelinci. Kemudian makanan tersebut dilunakkan sebelum masuk ke
proventrikulus. Makanan secara cepat melewati proventrikulus ke ventrikulus
atau ampela. Fungsi utama ampela adalah untuk menghancurkan makanan dan
menggiling makanan kasar, dengan bantuan grit ( batu kecil dan pasir ) sampai
menjadi bentuk pasta yang dapat masuk ke dalam usus halus. Setelah makanan ke
dalam usus halus, pekerjaan pencernaan sama dengan hewan non-ruminansia lain
yaitu babi, kelinci dan sebagainya.
Usus besar unggas sangat pendek jika
dibandingkan dengan hewan nonruminansia lain,
terutama dengan babi dan manusia. Kenyataan ini dihubung kan dengan
jalannya makanan di kolom dan sekum, diketahui bahwa ada aktivitas jasad renik
dalam usus besar unggas tetapi sangat rendah jika dibandingkan dengan
nonruminansia lain. Dinyatakan oleh ( Abun dan Indriani. 2003) bahwa:
a.
Pada ayam tidak terjadi proses
pengunyahan dalam mulut karena ayam tidak
mempunyai
gigi, tetapi di dalam ventrikulus terjadi fungsi yang mirip dengan gigi yaitu
penghancuran makanan.
b.
Lambung yang menghasilkan asam lambung (HCl)
dan dua enzim pepsin dan renning
merupakan ruang yang sederhana yang berfungsi sebagai tempat pencernaan dan
penyimpan makanan.
c.
Sebagian besar pencernaan terjadi di dalam
usus halus, disini terjadi pemecahan zat - zat pakan menjadi bentuk yang
sederhana, dan hasil pemecahannya disalurkan ke dalam aliran darah melalui
gerakan peristaltik di dalam usus halus terjadi penyerapan zat-zat makanan yang
dibutuhkan oleh tubuh.
d.
Absorpsi hasil pencernaan makanan terjadi
sebagian besar di dalam usus halus, sebagian bahan-bahan yang tidak diserap dan
tidak tercerna dalam usus halus masuk ke dalam usus besar.
2.3.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
Nilai Energi Metabolis
Faktor
– faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis dapat digolangkan dalam dua
faktor yaitu faktor dalam atau intrinsik dan faktor luar atau ekstrinsik.
Faktor dalam berkaitan dengan pembawaan genetis sehubungan dengan tipe, bangsa,
starin, umur dan jenis kelamin. Faktor luar merupakan faktor dari luar tubuh
unggas misalnya jenis bahan pakan, metode dertiminasi yang digunakan serta
lingkungan yang berhubungan dengan ketinggian tempat (Achmanu, 1992). Metode
yang digunakan berkaitan dengan cara pemberian pakan, jumlah komsumsi, lama
pengumpulan ekskreta serta cara pengeringan ekskreta yang dihasilkan.
2.3.4. Penentuan
Energi Metabolisme pada Ayam Kampung
Prinsip penentuan kecernaan zat-zat
makanan adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi
dengan banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses ( Murdiati 2002 ).
Menurut Indarto, (1997), kegunaan penentuan kecernaan adalah untuk mendapatkan
nilai bahan makanan secara kasar sebab hanya bahan makanan yang dapat dicerna
yang dapat diserap oleh tubuh . Metode yang digunakan untuk menilai energi
metabolis yaitu metode konvensional atau total collecting methods, yang
terdiri dari periode pendahuluan selama 4-10 hari dengan tujuan membiasakan
ternak pada ransum dan keadaan lingkungan sekitarnya dan menghilangkan
sisa-sisa makanan sebelum perlakuan ( Riyanti. 2000 ). Sedangkan periode koleksi feses
dilakukan selama 5-15 hari, dengan waktu koleksi 24 jam ( Frandson, 1992 ). Metode lainnya
yaitu metode kuantitatif (metode indikator)
yaitu menambahkan indikator dalam ransum yang tidak dicerna ( Murdiati. 2002 ). Untuk mengukur kecernaan
pada unggas dibutuhakan teknik khusus karena feses dan urin dikeluarkan secara
bersamaan sehingga menyebabkan bercampurnya N urin dan feses (Murdianti ,2002 ). Hal tersebut
menurut ( Abun dan Indriani, 2003) dapat diusahakan dengan jalan pemisahan
N-urin dalam feses secara kimia atau dilakukan pembedahan untuk koleksi sampel
dari usus besar. Metode pembunuhan terhadap ayam kampung untuk koleksi sampel dari usus besar telah
dikembangkan oleh Indarto, (1997). Metode pengambilan sampel dari usus besar
dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan dan penyerapan telah terjadi pada usus
halus dan tidak terjadi lagi pada usus besar. Penyerapan zat-zat makanan
terjadi di dalam usus halus. Metode pengambilan sampel dari usus besar lebih
akurat Fardiaz. ( 1999 ) Metode kuantitatif ini
terdiri dari dua periode yaitu periode adaptasi dan periode pengambilan sampel.
2.4.
Energi Metabolis
Energi metabolisme yang diperlukan ayam berbeda, sesuai tingkat
umurnya, jenis kelamin dan cuaca. Semakin tua ayam membutuhkan energi
metabolisme lebih tinggi (Fadilah, 2004). Menurut Wahyu (2002), energi yang
dikonsumsi oleh ayam digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh, produksi,
menyelenggarakan aktivitas fisik dan mempertahankan temperatur tubuh yang
normal. Fadillah (2004) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ayam kampung pedaging periode starter 3080 kkal/kg ransum
pada tingkat protein 24%, sedangkan periode finisher 3190 kkal/kg ransum pada
tingkat protein 21%.
Rasyaf (1992) menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis
berhubungan erat dengan kebutuhan protein yang mempunyai peranan penting pada
pertumbuhan ayam kampung selama masa pertumbuhan.
Menurut
Scott ett al. (1982) bahwa energi berasal dari bahasa Yunani yaitu en berarti di dalam dan ergon berarti
kerja. Hewan mempergunakan makanannya tidak lain untuk kebutuhan energi
yaitu untuk fungsi-fungsi tubuh dan untuk melancarkan reaksi-reaksi
sintesis dari tubuh. Jull (1979) menyatakan bahwa energi diperoleh dari konsumsi
makanan, pencernaan dan metabolis untuk pelepasan energi.
Energi
diukur dengan kalori. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa satu gram kalori
adalah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 gram air 10C dari 14,5-
15,50C. Satu kilokalori adalah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1
kilogram air 10C (14,5-15,50C). Energi yang terdapat dalam bahan makanan
merupakan nilai energi kimia yang dapat diukur dengan merubahnya kedalam energi
panas. Panas ini timbul sebagai akibat terbakarnya zat-zat organik dalam bahan
makanan seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang merupakan zat-zat organik
dalam bahan makanan. Menurut Mc. Donald dkk. (1994) proses perubahan menjadi
panas ini dapat dilakukan dengan membakar bahan makanan kedalam suaatu alat
yang disebut Oxigen Bomb Calorimeter, dengan jumlah panas yang dihasilkan
sebagai energi bruto.
Menurut
Aggorodi (1985) Energi Metabolis merupakan energi makanan dikurangi energi yang
hilang dalam feses, pembakaran gas-gas dan urin. Adapun gasgas yang dihasilkan
unggas dapat berupa uap air, gas amoniak (NH3), asam sulfide (H2S) dan metana
(Sibbald, 1982 dalam Sundari, 2004). Hartadi dkk. (1993) menyatakan bahwa untuk
unggas dan monogastrik gas-gas hasil proses pencernaan dapat diabaikan. Energi
metabolis memperlihatkan nilai suatu bahan makanan untuk memelihara suhu tubuh.
Sejalan dengan pendapat Cullison (1982) yang mengemukakan bahwa energi
metabolis adalah energi yang digunakan untuk memetabolisme zat-zat makanan
dalam tubuh, satuannya dinyatakan dengan kilokalori per kilogram. Pendapat
tersebut diperkuat dengan pernyataan Kingston ett all (1982) bahwa energi
metabolis merupakan energi yang dipergunakan pada pembentukkan dan perobakkan
zat-zat makanan dalam tubuh.
Menurut
Wahyu (2002) bahwa nilai Energi Metabolis dan beberapa bahan makanan dapat
diperbaiki dengan pengolahan.. Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi
kebutuhan energinya dan akan berhenti makan apabila kebutuhan energi telah
terpenuhi. Namun, energi dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh
ayam, karena sebagian akan dibuang melalui feses dan urin. Sejalan dengan
pendapat Scott ett al. (1982) oleh karenanya, penyusunan ransum untuk unggas
terutama ayam sebaiknya didasarkan pada perhitungan energinya (Scott ett al.,
1982). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya makanan yang
dikonsumsi. Konsumsi ransum umumnya meningkat jika ransum yang diberikan
mengandung nilai energi yang rendah.
Menurut Achmanu (1992) mengatakan bahwa nilai energy
metabolis depengaruhi oleh factor intristik (dalam) yaitu jenis kelamin dan
umur serta factor ekstrinsik (luar) yaitu lingkungan dan bahan pakan.
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu
Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang,
penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai Maret 2012.
Sedangkan analisis energi metabolis dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi
dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Ayam Kampung
Ayam yang digunakan adalah ayam
kampung persilangan antara ayam Kedu
dengan ayam Bangkok, dengan jenis kelamin betina sebanyak 20 ekor. Ayam yang
digunakan adalah ayam kampung betina berumur 60 hari dengan rata-rata bobot
badan ayam kampung 762.85
gram .
3.2.2 Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kandang individu atau kandang baterai supaya mudah dalam
proses penampungan ekskreta ayam. Kandang sebanyak 20 petak dengan ukuran tinggi 40 cm, lebar 18 cm, dan panjang masing – masing 60 cm
dimana setiap petak diisi 1 ekor ayam
dan masing – masing petak dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, wadah untuk menampung
ekskreta dan penerangan lampu pijar, timbangan yang
digunakan untuk menimbang ayam dan ekskreta ayam yang diteliti serta peralatan
prosesing ayam meliputi : timbangan analitik,
plastik untuk menanpung ekskreta dan sendok sedangkan Peralatan
kebersihan kandang meliputi : sapu, ember, sakop.
Persiapan kandang metabolis meliputi:
-
Sanitasi kandang.
-
Penyediaan tempat pakan, minum dan tempat penampung
ekskreta.
-
Identifikasi perlakuan pada kandang.
3.3 Pakan
3.3.1 Perlakuan Protein Pakan
Pakan perlakuan
adalah pakan dengan tingkat protein berbeda yaitu 20,19,18 dan 17%. Kandungan
zat makanan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 5 dan ransum perlakuan
dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 5.
Kandungan Zat Makanan yang Digunakan
No
|
Bahan Pakan
|
|
EM
|
PK
|
LK
|
SK
|
Ca
|
P
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1
|
*Jagung
Kuning
|
|
2935.772
|
9.39
|
4.58
|
2.9
|
0.82
|
0.17
|
2
|
**Bekatul
|
|
1451.853
|
10.64
|
14.42
|
6.42
|
0.0618
|
0.16
|
3
|
Konsentrat
Comfeed
|
|
2367.064
|
39.71
|
3.91
|
3.74
|
6.87
|
0.59
|
4
|
Minyak
Kelapa Sawit
|
|
9000
|
0
|
100
|
0
|
0
|
0
|
5
|
Usfa
Mineral
|
|
0
|
0
|
0
|
0
|
55
|
0
|
6
|
*Bungkil
Kedelei
|
|
2955.05
|
55.98
|
1.22
|
7.78
|
0.87
|
0.5
|
Keterangan :
Ø Usfa Mineral VFA USFA Surabaya.
Ø Minyak kelapa sawit produksi PT SMART Tbk.
Surabaya.
Ø Hasil Analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan
Ternak Universitas Brawijaya Malang.
Ø *Hasil Analisis
Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
Ø **Hasil analisis Laboratorium Biokimia Universitas
Muhammadiyah Malang.
Tabel
6. Kandungan Nutrisi Kosentrat
Bahan pakan
|
EM
(Kkal/Kg)
|
PK
(%)
|
LK
(%)
|
SK
(%)
|
Ca
(%)
|
P
(%)
|
BR1 COMFEED
|
-
|
21
|
3-7
|
5
|
0.9-1.1
|
0.6-0.9
|
Tabel
7. Susunan Ransum Perlakuan
Bahan
pakan
|
|
Komposisi Bahan
|
|||
|
P1
Protein 20 %
|
P2
Protein 19 %
|
P3
Protein 18 %
|
P4
Protein 17 %
|
|
Jagung Kuning
|
-
|
60
|
60
|
61,3
|
64
|
Bekatul
|
-
|
7
|
8,6
|
9,4
|
9,4
|
Konsentrat Comfeed
|
-
|
22
|
22
|
22
|
20
|
Minyak Kelapa Sawit
|
-
|
2
|
2,6
|
2,7
|
2,8
|
Usfa Mineral
|
-
|
0,5
|
0,5
|
0,5
|
0,5
|
Bungkil Kedelai
|
-
|
8,5
|
6,3
|
4,1
|
3,3
|
Total
|
-
|
100
|
100
|
100
|
100
|
Hasil
Perhitungan
Energi Metabolis (Kkl / Kg)
Protein Kasar (%)
Lemak Kasar (%)
Serat Kasar (%)
Kalsium (%)
Pospor (%)
|
2815
20,197
6.7213
3.6735
2.3567
0,2855
|
2827,2
19,136
7.5252
3.6051
2.3385
0,2771
|
2821
18,119
7.7732
3.523
2.3305
0,2696
|
2838,3
17.145
7.9089
3.4642
2.2083
0,2583
|
Keterangan : Hasil
perhitungan berdasarkan kandungan bahan pakan tabel 5.
3.4 Metode
Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
percobaan hayati dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Dengan 4 perlakuan yaitu P1, P2, P3, P4 dan masing- masing
perlakuan diulang 5 kali sehingga terdapat 20 unit percobaan dan setiap ulangan
terdri dari 1 ekor ayam, sehingga ayam yang digunakan sebanyak 20 ekor ayam
kampung. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut :
P1 = Pakan
dengan kadar protein 20 %
P2 = Pakan
dengan kadar protein 19 %
P3 = Pakan
dengan kadar protein 18 %
P4 = Pakan
dengan kadar protein 17 %
Penjelasan
Ransum perlakuan dapa dilihat pada tebel 7.
3.5 Prosedur
Percobaan
Menyiapkan
kandang individu dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing - masing 60, 18 dan 40 cm yang dilengkapi
dengan tempat makan dan minum serta bak tempat penampung ekskreta yang
dibawahnya dilapisi lembaran plastik.
Ada beberapa tahap dalam prosedur percobaan yaitu antara lain :
a.
Menimbang ayam dan memasukkan kedalam
kandang sesuai dengan perlakuan.
b.
Ayam diberi pakan sesuai dengan
perlakuan secara adlibitum selama kurang lebih 4 hari dan dicatat konsumsi perhari
perekor dengan menghitung pakan yang diberikan pada pagi hari dikurangi dengan
pakan sisa pada sore hari.
c.
Dihitung rata - rata konsumsi harian per individu.
d.
Pada hari ke 5 - 7 setiap ayam diberikan
pakan sebanyak 80 % dari rata rata konsumsi harian.
e.
Pada hari ke 6 - 8 lembaran plastik
diganti yang baru perhari dan mulailah pengamatan.
f.
Ekskreta ditampung dan dikumpulkan
selama 3 hari, ditimbang dan dikeringkan
dibawah sinar matahari dan ditimbang lagi setelah kering.
g.
Diambil sampel ekskreta masing - masing
individu sebanyak yang diperlukan untuk analisis kimia, demikian juga sampel
dari pakan perlakuan.
h.
Analisis kimia meliputi sampel pakan
perlakuan dan ekskreta dianalisa bahan kering dan gross energi.
i.
Menghitung nilai energi metabolis dari
konsumsi pakan perlakuan.
Alur
rancangan penelitian dapat dilihat pada gambar 2.
Penimbangan
Untuk
mengetahui bobot awal
|
Pakan
Perlakuan :
P 1 = Pakan dengan
kadar protein 20 %
P 2 = Pakan dengan
kadar protein 19 %
P 3 = Pakan dengan
kadar protein 18 %
P 4 = Pakan dengan kadar protein 17
%
|
Perlakuan
Diberikan Pakan perlakuan diberikan
80 % dari konsumsi harian Selama 3
hari
|
Pemberian pakan perlakuan secara ad libitum
|
Masukan
ayam secara individu
|
Ekskreta di keringkan
|
Pengumpulan ekskreta
Tiap hari selama 3 hari
|
Sampel
ekskreta di analisis bahan
kering
dan gross energi
|
Gambar. 2 Alur Rancangan Penelitian
3.6 Variabel Yang Diukur
Variabel
yang diukur dalam penelitian kecernaan energi metabolis
pada ayam kampung:
1.
Dicatat jumlah komsumsi pakan perlakuan perhari
selama 3 hari per BK (bahan kering).
2.
Dicatat jumlah ekskreta perlakuan perhari selama 3
hari per BK (bahan kering) : sampel ekskreta per individu.
3.
Dianalisi nilai N pakan dan ekskreta dari pakan
perlakuan : sampel pakan perlakuan dan ekskreta per individu.
4.
Dianalisis gross energi pakan dan ekskreta : sampel
pakan perlakuan dan ekskreta per individu.
Nilai AMEn (Apparent Metabolizable Energy) denga koreksi N dihitung
menurut yang diberikan oleh Terpstra dan Janssen (1976) sebagai berikut:
AMEn = C – dW-8,73 (N – dT) kkal/kg.
Dimana:
AMEn = ” Apparent Metabolizable Energy ” dengan koreksi N
C = Energi bruto dari 1kg bahan pakan yang diteliti
(kkal).
d = Energi bruto dengan 1 kg
ekskreta yang di dapat per kg bahan pakan
W = Energi bruto dari 1 kg ekskreta
yang didapat (kkal).
8,73 =
Imbangan kandungan nitrogen yang masuk
dengan nitrogen yang
keluar melalui ekskreta.
N = Jumlah gram nitrogen dari 1kg bahan pakan.
T = Jumlah gram nitrogen dari 1 kg ekskreta yang di
dapat.
Metode Forel feeding menurut terpstra dan
Janssen (1976) ini dapat dikatakan metode tercepat dalam determinasi nilai
energi metabolisme bahan pakan dan diperlukan jumlah sampel lebih sedikit dan
memerlukan pakan basal seperti halnya pada determinasi nilai AMEn.
3.7 Analisa Statistik
Data penelitian dianalisa
dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Menurut (Yitnosumarto 1993) apabila terjadi perbedaan
yang sangat nyata maka dilanjutkan dengan Uji BNT.
Adapun model matematika Rancangan Acak Lengkap (RAL)
adalah :
Yij = µ +
Ti + Ɛij
Dimana :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan
ke-j
µ = Nilai Tengah Umum
Ti = Pengaruh
perlakuan ke-i
Ɛij = Kesalahan Galat percobaan pada perlakuan ke-i
ulangan ke-j
3.8
Batasan Istilah
Energi Metabolis : Ukuran nilai kandungan
suatu bahan pakan karena energi bruto tidak dapat sepenuhnya menggambarkan
energi yang dimanfaatkan oleh unggas karena sebagian zat- zat makanan tidak
dapat dicerna atau dapat dicerna tetapi tidak dapat diserap oleh tubuh.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Pakan Dan Jumlah Ekskreta
Ayam
mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya dan akan berhenti makan
apabila kebutuhan energinya telah terpenuhi. Namun, energi dalam ransum tidak
dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian akan dibuang melalui
feses dan urin. Penggunaan ransum seimbang dapat berpengaruh terhadap tingkat
konsumsi ayam kampung betina. Konsumsi ayam kampung betina selama penelitian
dapat dilihat pada tabel 8
berikut ini.
Tabel
8. Konsumsi Pakan dan Jumlah Ekskreta Ayam Kampung Betina
Perlakuan
|
Jumlah pakan
|
selama penelitian
|
Bobot
Ekskreta/BK
|
d
|
Pemberian/hr/ekor
|
Kons 3 hari/BK
|
|||
P1
|
45
|
114.88
|
38.20±0.84
|
0.30±0.01
|
P2
|
45
|
114.67
|
37.60±1.14
|
0.29±0.01
|
P3
|
45
|
114.28
|
37.40±1.14
|
0.29±0.01
|
P4
|
45
|
114.54
|
36.50±1.12
|
0.28±0.01
|
Keterangan : d : rataan bobot ekskreta dalam 1 kg
bahan pakan
Data pada Tabel
8 diatas di dapat
berdasarkan metode determinasi nilai AMEn menurut Terpstra dan Janssen (1976) yang
disebut dengan The Quantitative Methods, yang digunakan untuk
menilai energi metabolis dan terdiri dari periode pendahuluan selama 4-10 hari dengan tujuan membiasakan ternak
pada ransum dan keadaan lingkungan sekitarnya dan menghilangkan sisa-sisa
makanan sebelum perlakuan (Riyanti, 2000), serta dilanjutkan periode koleksi ekskreta yang dilakukan selama
3 hari, dengan waktu koleksi 24 jam (Frandson, 1992).
Tabel 8 menunjukkan bahwa konsumsi pakan selama 7 hari di dapat rata-rata 45 gram. Jadi,
ransum yang di berikan sebanyak 45 gram per hari terkonsumsi semua. Kondisi ini
dapat terjadi di karenakan diberlakukan pembatasan pakan (restricted feed). Pembatasan pakan ini penting karena dapat
mengontrol pakan yang terkonsumsi sehingga dapat mengetahui tingkat konsumsi pakan ayam kampung.
Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan bobot ekskreta adalah rata-rata 29.94
gram. Ditinjau dari bobot ekskretanya, diindikasikan kecernaan pakan pada
penelitian ini cukup baik, dikarenakan ditinjau dari defenisi kecernaan pakan
yang dinyatakan oleh Murdiati (2002), adalah menghitung banyaknya zat-zat
makanan yang di konsumsi dikurangi dengan bnyaknya zat makanan yang dikeluarkan
melalui feses. Selain itu, bobot ekskreta menunjukkan bahwa pakan yang tidak
tercerna dan tidak diperlukan dalam tubuh ayam tidak terlalu banyak sesuai
dengan pendapat Kartasudjana (2002) yang menyatakan bahwa zat makanan yang
terdapat di dalam ekskreta dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak
diperlukan kembali.
Konsumsi setiap bahan pakan atau ransum menurut Frandson (1992), di
pengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi bahan pakan atau
ransum, tingkat pemberian pakan, temperatur lingkungan dan umur ternak.
kecernaan pakan berarti juga kecernaan bahan pakan yang memiliki kandungan
nutrisi berbeda. Salah astu kandungan nutrisi pakan yang penting untuk
diketahui tingkat kecernaannya adalah Gross
Energy (GE).
4.2.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Energi Metabolis
Energi metabolis (EM), menurut Anggrodi (1985) merupakan energi makanan
dikurangi energi yang hilang dalam feses, pembakaran gas-gas dan urin. Energi
dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian
akan dibuang melalui feses dan urine. Hal ini dikarenakan bahan pakan yang
diberikan kepada ayam mengandung protein yang merupakan persenyawaan komponen
nitrogen dan oleh Sundari (2004) dinyatakan bahwa dalam perhitungan energi
metabolis digunakan perhitungan berdasarkan keseimbangan nitrogen atau “zero nitrogen balance”, yang diberikan
tanda AMEn.
Nilai AMEn yang dihitung pada
perhitungan ini digunakan metode perhitungan EM dengan AMEn. Hasil perhitungan
nilai AMEn dalam penelitian ini disajikan pada tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Rataan Nilai Nitrogen Pakan , Nitrogen Ekskreta dan Nilai AMEn
Perlakuan
|
N
|
T
|
AMEn
|
P1
|
3.66±0
|
3.87±0
|
2997.86±89.47
|
P2
|
3.50±0
|
3.87±0
|
2874.84±78.18
|
P3
|
3.30±0
|
3.76±0
|
2864.72±55.24
|
P4
|
3.15±0
|
3.28±0
|
2856.65±39.69
|
Keterangan
:
N : Nilai Kandungan Nitrogen Dalam
Bahan Pakan
T : Nilai Kandungan Nitrogen Dalam Ekskreta
AMEn : Apparent Metabolizable Energy terkoreksi
nilai N
Table 9 ,menunjukkan nilai nitrogen dari pakan berkisar antara 3,66 dari perlakuan P1 (protein tertinggi) - 3,15 didapat pada perlakuan P4
(protein rendah). Sedangkan nilai nitrogen ekskreta
berkisar antara 3,87 dari perlakuan P1 – 3,28 dari perlakuan P4. Tidak banyaknya perbedaan nitrogen dari ekskreta
dengan nitrogen dalam pakan disebabkan karena dalam ekskreta selain zat makanan
yang tidak tercerna juga tercampur dengan reruntuhan sel, mukrosa usus, endogen
pencernaan dari urin yang semuanya juga mengandung nitrogen.
Berdasarkan
hasil
tersebut, maka dapat diketahui kandungan N dalam ekskreta berada pada kisaran
3,28 – 3,87 % dan kandungan N dalam pakan berada pada kisaran 3,15 – 3,66 %.
Tabel 8 menunjukkan data kandungan N tertinggi dalam pakan adalah pada pakan
perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan kandungan protein kasar
pakan perlakuan tertinggi di antara pakan perlakuan, ini sesuai juga
dengan kondisi yang terjadi dengan
kandungan N dalam ekskreta yang berurutan dari P1 sampai dengan P4 . Tingginya
kandungan N pakan dan N ekskreta P1 sesuai dengan rataan nilai AMEn yang juga
menpunyai nilai tertinggi diatara perlakuan. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian Ikhsan, Reo dan Niswi (2012) yang menyebutkan bahwa
pada ransum dengan PK pakan 19% adalah memberikan hasil energi metabolis
terbaik pada ayam kampung. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis kelamin
dan daya cerna pakan yang berbeda pula. Ditambahkan dengan pendapat rasyaf (1992) yang menyatakan
bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein, dan
oleh Pesti (2009), dikarenakan level protein yang berbeda dalam pakan merupakan
pembatas dalam pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan merupakan
pertimbangan utama.
Hasil
analisa yang ditunjukkan pada tabel 9 menunjukkan bahwa nilai AMEn antar
perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat
Achmanu (1992), yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi nilai energi
metabolis dapat digolongkan dalam 2 faktor, yaitu faktor dalam atau intristik
yang berkaitan dengan pembawaan genetis sehubungan dengan tipe, bangsa, strain,
umur dan jenis kelamin serta faktor luar atau ekstrinsik yang merupakan faktor
luar tubuh unggas misalnya jenis bahan pakan, penggunaan metode determinasi
serta lingkungan yang berhubungan dengan ketinggian tempat. Ditambahkan oleh
fadilah (2004), yang menyatakan bahwa energi yang diperlukan ayam berbeda,
sesuai dengan tingkat umur, jenis
kelamin dan cuaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar