Kamis, 13 Maret 2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi ayam buras dijumpai di kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan menaikkan pendapatan keluarga.
Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Bakrie et al.,2003). Hal ini terlihat dari peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2001 – 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 – 2009 konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton (Aman, 2011). Mempertimbangkan potensi itu, perlu diupayakan jalan keluar untuk meningkatkan populasi dan produktivitasnya.
Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi.
Kondisi yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam kampung adalah rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi (Gunawan, 2002; Zakaria, 2004a), terutama sekali pemberian pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Keadaan tersebut disebabkan karena belum cukupnya informasi mengenai kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung. Peningkatan populasi, produksi dan efisiensi usaha ayam kampung, perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004b).
Secara umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama minggu awal (0-8 minggu) dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan (Setioko dan Iskandar, 2005; Sapuri, 2006).
Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18% - 21,4% sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing - masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu diteliti.
Melihat proses metabolisme dan mengadakan pelacakan terhadap nutrien dalam tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk pertumbuhan maupun fungsi-fungsi lain, maka kebutuhan nutrien khususnya energi dan protein pada ayam kampung dapat ditetapkan. Pelacakan terhadap nutrien tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk menentukan kebutuhan nutrien, diharapkan dapat meningkatkan perkembangan serta produktifitas ayam kampung. Berdasarkan kondisi tersebut maka permasalahan yang dihadapi didalam pengembangan ayam kampung adalah : belum adanya data tentang kebutuhan nutrien, khususnya energi dan protein untuk produksi.
Produktivitas ternak merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Faktor lingkungan yang perlu mendapat perhatian utama adalah ransum Keunggulan genetik suatu bangsa ternak tidak akan ditampilkan secara optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Faktor lingkungan memberi pengaruh lebih besar terhadap produktivitas dibanding faktor genetik. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat heretabilitas produksi telur untuk ayam petelur hanyalah 0,15 (Amrullah, 2003)
Manajemen pemberian ransum yang tepat dibutuhkan untuk mendukung produksi karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi ayam petelur. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan oleh peternak pada umumnya adalah dengan mengatur jumlah porsi pemberian ransum 2 kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan siang. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan beberapa peternakan ayam petelur berbeda-beda, khususnya porsi pemberian ransum pagi dan siang, antara lain 50 : 50, 40 : 60, 60 : 40, atau 30 : 70 (Indreswari, 2007).
Peternakan di daerah dataran tinggi yang suhu lingkungannya termasuk kisaran nyaman, berapapun porsi yang diberikan selama kadar nutriennya sesuai dengan kebutuhan ayam, maka tidak akan berpengaruh terhadap prosesproses fisiologis dalam tubuh. Lain halnya untuk peternakan di daerah dataran rendah dengan suhu udara yang lebih tinggi dari suhu nyaman ayam petelur, sangat dimungkinkan porsi pemberian ransum pagi dan siang berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis tubuh. Hal ini berkaitan dengan mekanisme pengaturan panas dalam tubuh.
Proses pencernaan yang berlangsung pada suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu nyaman ayam akan menurunkan nilai kecernaan. Menurut Zainuddin dkk (2000), cekaman panas akan menghambat suplai nutrien ke jaringan tubuh terutama untuk pembentukan telur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa cekaman panas akan menurunkan aliran darah ke saluran pencernaan sampai 50% seperti pada proventrikulus, gizzard, dan pankreas, sedangkan laju aliran darah pada bagian atas duodenum dan jejunum menurun sampai 70% selama cekaman panas. Hal ini akan berdampak pada penurunan efisiensi dari pencernaan, absorpsi dan transport nutrien. Di sisi lain penggunaan energi ransum menjadi tidak efisien sehingga akan berpengaruh terhadap produksi.
Porsi pemberian ransum yang tepat diharapkan mampu meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan kecernaan nutrisi yang pada akhirnya akan tetap menjaga stabilitas produksi telur. Berdasarkan uraian tersebut kiranya diperlukan sebuah kajian untuk memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh porsi pemberian ransum terhadap konsumsi ransum dan nilai energi metabolis yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas ayam kampung betina.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah level protein ransum yang berbeda dapat memberikan perbedaan pengaruh terhadap nilai energi metabolis pada ayam kampung.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari dan mengetahui level protein yang memberikan pengaruh terhadap energi metabolis pada ayam kampung betina.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khasanah ilmiah maupun penerapannya bagi para petani peternak. Dari aspek ilmiah hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi tentang kebutuhan nutrisi ayam kampung, dan tentunya yang akan memberikan pengaruh secara ekonomis terhadap peternak ayam kampung tersebut.
1.5 Hipotesis
            Level protein pada ransum ayam kampung betina dapat memberikan perbedaan pengeruh terhadap nilai energi metabolis.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah memasyarakat dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing.  Istilah "Ayam kampung" semula adalah kebalikan dari istilah "ayam ras", dan sebutan ini mengacu pada ayam yang ditemukan berkeliaran bebas di sekitar perumahan. Namun demikian, semenjak dilakukan program pengembangan, pemurnian, dan pemuliaan beberapa ayam lokal unggul, saat ini dikenal pula beberapa ras unggul ayam kampung. Untuk membedakannya kini dikenal istilah ayam buras (singkatan dari "ayam bukan ras") bagi ayam kampung yang telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik budidaya (tidak sekedar diumbar dan dibiarkan mencari makan sendiri). Peternakan ayam buras mempunyai peranan yang cukup besar dalam mendukung ekonomi masyarakat pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkunganan pemeliharaannya relatif lebih mudah. Sumbangan ayam kampung terhadap produksi daging ayam adalah 250.000 ton per tahun atau 33.46 % dari total produksi daging unggas. Sedangkan produksi telurnya mencapai 96.000 ton per tahun atau setara dengan 31.34 % dari total produksi telur .
Faktor pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting untuk diperhatikan. Pada periode pertumbuhan yang cepat, ayam kampung  sangat sensetif terhadap tingkat nutrisi, terutama kandungan protein. Semakin banyak protein digunakan untuk pertumbuhan makin sedikit energi berasal dari protein. Bila diharapkan sebagian besar protein digunakan untuk pertumbuhan, maka energi metabolis harus cukup berasal dari karbohidrat dan lemak (Fadillah. 2004). Kebutuhan protein dan energi metabolisme untuk ayam kampung dapat di lihat pada Tabel. 1 dibawah ini.
Tabel. 1 Kebutuhan Protein dan Energi Metabolisme untuk Ayam Kampung

Fase pemeliharaan
Protein (%)
Energi metabolisme (kkal/kg)

Brooding (1-14 hari)
22
3050

Starter (14-30 hari)
20
3100

Grower (31-60 hari)

Finisher (>61hari)
19
2900

16 - 18
3000

Sumber : (Wahyu, 2002)
           

2.2 Bahan Penyusun Ransum
              Pakan adalah ransum yang terdiri atas campuran beberapa bahan makanan yang diberikan dalam pemeliharaan ayam, khususnya pada budidaya ayam kampung dengan teknologi semi intensif dan intensif. Sampai saat ini pakan menjadi masalah utama dalam usaha peternakan ayam, karena 70 - 80 persen biaya produksi ditentukan oleh biaya pakan. Menurut Murtidjo (2006), biaya makanan merupakan suatu faktor pembatas utama terhadap daya produksi, oleh karena itu agar usaha peternakan memperoleh keuntungan yang lebih besar maka peternakan tersebut harus benar-benar memperhatikan upaya mengefisienkan penggunaan input  pakan, baik jumlah pakan yang diberikan maupun mutu dari pakan tersebut, yang tentu saja akan memperbaiki pendapatan peternak.
              Ayam kampung yang diberi makan cukup dan teratur bisa tumbuh baik dan bertelur lebih banyak. Menurut Santoso (1996), untuk ayam kampung yang berumur satu hari sampai empat bulan rata-rata pakan yang dihabiskan mencapai 3.9 kg per ekor. Dengan pemberian semacam ini ayam mulai dapat bertelur pada umur 7 - 8 bulan. Disamping itu  perbandingan zat-zat makanan yang terkandung di dalam ransum harus baik kualitasnya dan seimbang. Wahyu (2002) menyatakan bahwa ada hubungan antara kandungan energi dalam ransum dengan konsumsi ransum. Penelitian pada beberapa ransum yang mengandung tingkat energi antara 2800 sampai dengan 3300 kkal/kg ransum menunjukkan bahwa makin tinggi kandungan energinya maka makin sedikit jumlah ransum  yang, dikonsumsi. Penelitian mengenai pengaruh berbagai tingkat energi dalam ransum terhadap performans ayam pedaging  yang dilakukan Togotorof (1981) menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat energi ransum sangat nyata mempengaruhi pertambahan berat badan ayam. Tujuan pengelolaan pakan adalah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, meningkatkan kualitas pakan dan memperbaiki penyediaan pakan. Pembuatan pakan murah diupayakan dengan memanfaatkan bahan yang ada di sekitar lokasi intensifikasi ayam kampung dan sarana pembuat pakan produksi lokal. Untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan ayam kampung maka dapat dilihat pada tabel 2 berikut berikut.

    Tabel 2. Konsumsi pakan dan berat ayam kampung standart
Umur
Konsumsi Pakan
Berat Badan
(Minggu)
(gr/ekor/mgg)
(gram/ekor)
1
50
80
2
90
120
3
160
210
4
260
280
5
260
350
6
290
460
7
340
520
8
390
590
9
440
640
10
480
700
11
530
760
12
590
810
    Sumber : (Wahyu, 2002)
            Pelihara ayam buras (kampung) Pada prinsipnya macam - macam zat gizi yang dibutuhkan ayam buras sama dengan yang dibutuhkan ayam ras yaitu :
a. Protein
b. Vitamin
c. Energi (Karbohidrat dan lemak)
d. Mineral dan
e. Air.
Jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh kedua jenis ayam tersebut mungkin berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan zat gizi untuk ayam buras lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan ayam ras. Oleh karena itu penggunaan 100% ransum ayam ras komersial untuk ayam buras merupakan pemborosan karena pertumbuhan maupun produksi telur masih jauh di bawah pertumbuhan maupun produksi telur ayam ras. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan genetis ayam buras. Banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi, diantaranya :
a.       Jenis ternak
b.      Umur unggas
c.       Lingkungan, terutama cuaca
d.      Tingkat produksi
Bahan pakan merupakan sumber utama kebutuhan nutrisi ayam untuk keperluan hidup pokok dan produksinya. Berbagai jenis bahan pakan dapat diklasifikasikan atas dua macam, yaitu :
1. pakan nabati
2. pakan hewani
Bahan pakan nabati adalah bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan pakan nabati ini umumnya mempunyai serat kasar tinggi, misalnya dedak dan daun-daunan yang suka dimakan oleh ayam buras. Disamping itu bahan pakan nabati banyak pula yang mempunyai kandungan protein tinggi seperti bungkil kelapa. bungkil kedele dan bahan pakan asal kacang-kacangan. Dan tentu saja kaya akan energi seperti jagung dan lain-lain (Tilman dkk, 1991).
Bahan pakan hewani adalah bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan, termasuk ikan dan olahannya. Bahan pakan asal hewan ini umumnya merupakan limbah industri, sehingga sifatnya memanfaatkan limbah. Bahan pakan hewani yang biasa digunakan adalah tepung ikan, tepung tulang, tepung udang, tepung kerang, cacing, bekicot, serangga dan lain-lain (Murtidjo, 2006). Secara umum, bahan makanan asal nabati dan olahannya mencapai 60 – 80% dari total makanan yang diberikan kepada ayam, selebihnya adalah bahan makanan asal hewan.
Bahan penyusun ramsum pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Jagung Kuning
2.      Bekatul
3.      Kosentrat Comfeed
4.      Minyak Kelapa Sawit
5.      Usfa Mineral
6.      Bungkil Kedele

2.2.1 Jagung Kuning
Jagung merupakan salah satu bahan penyusun ransum ayam pedaging. Jagung adalah sumber karbohidrat yang mempunyai proporsi cukup besar dalam penyusunan ransum. Karbohidrat mempunyai manfaat penting bagi tubuh ayam pedaging seperti menyediakan energi untuk proses metabolisme (Anggorodi, 1990). Vitamin A atau karotenoid dan vitamin E terdapat dalam komoditas ini, terutama pada jagung kuning. Selain fungsinya sebagai zat gizi mikro, vitamin tersebut berperan sebagai antioksidan alami yang dapat meningkatkan imunitas tubuh dan menghambat kerusakan degeneratif sel. Jagung juga mengandung berbagai mineral esensial, seperti K, Na, P, Ca, dan Fe. Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional (Murtidjo, 2006). Komposisi kimiawi jagung lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel. 2
Tabel 3. Komposisi Kimia Jagung
Bahan pakan
Bahan kering
(%)
Protein kasar (%)
EE
(%)
Serat kasar (%)
Abu
(%)
BETN
(%)
Jagung
86,0
8,9
4,0
2,2
1,7
68,8
Sumber: Murtidjo. (2006)
Keterangan =  EE      = Ether Extract
                        BETN = Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen

2.2.2 Bekatul
Bekatul atau dedak halus sudah lama dipakai sebagai campuran pakan ternak seperti bungkil jagung dan kedelai. Selain harganya murah, Rp1.200 - Rp1.500/kg, kadar protein yang dikandung kulit bulir padi itu cukup tinggi mencapai 10-12%. Pemakaian bekatul mencapai 20-30% dari total pakan, bekatul mudah tengik karena memiliki ikatan asam lemak tidak jenuh (Anonimous, 2010). Kelemahan lain, bekatul mengandung asam phytat. Asam phytat ini merupakan zat antinutrisi yang mampu berikatan dengan protein dan mineral seperti Ca, P, Fe, Zn, dan Mg. Sekitar 50-80 % phosphorus yang terkandung dalam bahan pakan berasal dari tumbuhan tersimpan dalam bentuk phytat, atau asam phytat. dan komponen ini tidak dapat dicerna  oleh unggas maupun babi karena hewan tersebut tidak memiliki enzim untuk mencerna asam phytat(Anonimus, 2010).
              Kandungan nutrien yang terdapat di bekatul yang berkualitas baik dapat dilihat pada Tabel. 2 ( NRC, 2004 ) :

Tabel 4.  Kandungan Bekatul
Kandungan
Presentase (%)
PK
   9-12
Pati
      15-35
Lemak
8-12
SK
       8-11
Sumber : NRC ( 2004 )
Menurut hasil penelitian bahwa kurang lebih 8-8.5% dari berat padi adalah bekatul (Anonimous, 2004) Dengan angka tersebut maka kita dapat memprediksi potensi suatu daerah untuk menghasilkan bekatul. Misalnya suatu daerah untuk suatu periode panen menghasilkan 1000 ton padi maka dapat diperkirakan daerah tersebut mampu menghasilkan 80 – 85 ton bekatul (Anonimous, 2004).
Nutrien yang terdapat di bekatul yang berkualitas baik antara lain Protein kasar 9-12 %, pati 15-35 %, lemak 8-12% serta serat kasar 8-11% (NRC, 2004) Dengan kandungan serat kasar yang lebih tinggi dari pada jagung atau sumber energi yang lain maka menyebabkan bekatul diberikan dalam jumlah yang terbatas tergantung pada jenis ternaknya. Sebagai komoditi yang cukup terbatas ketersediaannya karena tergantung pada musim panen padi serta sifatnya yang mudah rusak, serta menjadi kebutuhan utama bagi peternak yangmembuat pakan campuran sendiri sehingga mendorong tingginya harga jual bekatul di pasaran. Hal yang demikian tersebut dimanfaatkan para penjual maupun pengepul bekatul untuk memanipulasi isi bekatul tersebut sehingga akan didapat keuntungan yang lebih banyak lagi. Ada beberapa bahan yang sering digunakan untuk memanipulasi jagung seperti sekam giling, limestone, zeolite, dan limbah tepung tapioca (Anonimous, 2004).
Komponen utama dari bekatul adalah karbohidrat yaitu sekitar 40-49 %, karena bekatul tersusun dari endosperm (Ciptadi dan Nasution, 1991) yang disitasi oleh Taurusi, 1993). Selanjutnya dilaporkan bahwa ditinjau dari komposisinya, bekatul merupakan makanan yang mempunyai nilai kalori tinggi, dengan monosakarida penyusun karbohidrat berupa glukosa, galaktosa, xylosa dan fruktosa (Sarwono, 2006).
2.2.3 Bungkil Kedele
Kacang kedelai mentah tidak dianjurkan untuk dipergunakan sebagai pakan ayam karena kacang kedelai mentah mengandung beberapa trypsin, yang tidak tahan terhadap panas, karena itu sebaiknya kacang kedelai diolah lebih dahulu. Bungkil kedelai merupakan limbah pembuatan minyak kedelai, mempunyai
kandungan protein ± 42,7% dengan kandungan energi metabolisme sekitar 2240 Kkal/Kg, kandungan serat kasar rendah, sekitar 6%. Tetapi kandungan methionisne rendah. Penggunaan bungkil kedelai dalam ransum ayam dianjurkan tidak melebihi 40%, sedang kekurangan methionisme dapat dipenuhi demi tepung ikan atau methionisme buatan pabrik.


2.3. Kecernaan  Ayam Kampung
Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan yang tidak disekresikan dalan feses dan makanan yang diserap atau dicerna oleh tubuh dari saluran pencernaan. Satuan pengukurannya disebut Koefesien Cerna yang penyajiannya dalam satuan persen %.  Kecernaan zat makanan merupakan proses perombakan ukuran bobot makanan secara fisik dan kimiawi dan ukuran partikelnya menjadi lebih kecil serta zat akan terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana dan bobot molekul rendah ( misalnya protein menjadi asam amino ). Perbedaan kecernaan bahan makanan pada hewan terjadi karena perbedaan anatomi dan fisiologi dari saluran pencernaan Wahyu, (2002). Kecernaan setiap bahan makanan atau ransum dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi bahan makanan atau ransum, tingkat pemberian makanan, temperatur lingkungan dan umur hewan Frandson.  ( 1992 ) Kecernaan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai suatu bahanpakan ternak (Abun dan Indriani. 2003).Selanjutnya dinyatakan bahwa:
a.       Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan makanan, makin besar zat-zat makanan yang diserap.
b.      Tingginya kandungan zat-zat makanan, jika nilai kecernaannya rendah maka tidak akan ada gunanya.
c.       Untuk mengetahui seberapa besar zat-zat yang dikandung makanan ternak yang dapat diserap untuk kebutuhan pokok, pertumbuhan dan produksi.
Menurut Riyanti (2000) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali (Kartasudjana. 2002)
 Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan Kartasudjana.       ( 2002 ) Dinyatakan oleh  Wahyu, (2002 )yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. jenis kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asamasam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten Abun Denny, ( 2003). Pada unggas terdapat alat pencernaan berotot (setelah proventikulus/lambung) yaitu (Gizard) yang berfungsi sebagai tempat penggilingan dengan otot dibantu grit (keriklil/pasir). Perombahkan secara kimia menggunakan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh saluran pencernaan (hidrolisis) dan enzim mikroba dalam saluran pencernaan (fermentasi).
Uji kecernaan pada unggas mempunyai masalah ( terutama kecernaan protein), maka perlu dilakukan dua alternatif pemecahannya yaitu :
  1. Nitrogen dan urine ( berupa asam urat ) dianalisis secara kimia, kemudian dijadikan koleksi terhadap nitrogen feses.
  2. Dilakukan pembedahan dengan memisahkan saluran urine dan feses.
Pengukuran kecernaan ini meliputi :
a.       Pendahuluan, 7 – 10 hari bertujuan untuk pembiasaan terhadap pakan yang diuji dan menghilangkan pengaruh pakan sebelumnya.
b.      Koleksi, 5 – 15 hari  yaitu :
1.      Pencatatan jumlah konsumsi pakan setiap hari
2.      Pencatatan jumlah produksi feses setiap hari
3.      Pengambilan dan pencatatan cuplikan feses sebanyak 10 % dari feses harian.
4.      Cuplikan feses dikeringkan atau dijemur setiap hari
5.      Cuplikan feses disatukan selama periode pengamatan
6.      Cuplikan feses dan pakan atau ransum dianalisis kimia dan energinya.
2.3.1.      Deskripsi Energi Metabolis   
Menurut Aggorodi (1985) Energi Metabolis merupakan energi makanan dikurangi energi yang hilang dalam feses, pembakaran gas-gas dan urin. Adapun gas-gas yang dihasilkan unggas dapat berupa uap air, gas amoniak (NH3), asam sulfide (H2S) dan metana (Sibbald, 1982). Achmanu  (1992) menyatakan bahwa untuk unggas dan monogastrik gas-gas hasil proses pencernaan dapat diabaikan. Energi metabolis memperlihatkan nilai suatu bahan makanan untuk memelihara suhu tubuh. Sejalan dengan pendapat Cullison (1982) yang mengemukakan bahwa energi metabolis adalah energi yang digunakan untuk memetabolisme zat-zat makanan dalam tubuh, satuannya dinyatakan dengan kilokalori per kilogram. Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan Scott ett al (1982) bahwa energi metabolis merupakan energi yang dipergunakan pada pembentukkan dan perobakkan zat-zat makanan dalam tubuh. Menurut Wahyu (1997) bahwa nilai Energi Metabolis dan beberapa bahan makanan dapat diperbaiki dengan pengolahan.
Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya dan akan berhenti makan apabila kebutuhan energi telah terpenuhi. Namun, energi dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian akan dibuang melalui feses dan urin. Sejalan dengan pendapat Scott ett al. (1982) oleh karenanya, penyusunan ransum untuk unggas terutama ayam sebaiknya didasarkan pada perhitungan energinya (Scott et all., 1982). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya makanan yang dikonsumsi. Konsumsi ransum umumnya meningkat jika ransum yang diberikan mengandung nilai energi yang rendah.                  
2.3.2.      Sistem Pencernaan Ayam Kampung
Sistem pencernaan merupakan sistem yang terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam proses perombakan bahan makanan, baik secara fisik, maupun kimia menjadi zat-zat makanan yang siap diserap oleh dinding saluran pencernaan ( Parakkasi, 1990 ).   Menurut  Anggorodi  ( 1985 ) pencernaan adalah penguraian bahan makanan ke dalam zat-zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh. Saluran pencernaan dari semua hewan dapat dianggap sebagai tabung yang dimulai dari mulut sampai anus yang fungsinya dalam saluran pencernaan adalah mencernakan dan mengabsorpsi makanan dan mengeluarkan sisa makanan sebagai tinja. Unggas khususnya ayam kampung mempunyai saluran pencernaan yang sederhana karena unggas merupakan hewan monogastrik ( berlambung tunggal). Saluran-saluran pencernaan pada ayam kampung terdiri dari mulut, esophagus, proventriculus, usus halus, ceca, usus besar, dan kloaka ( Murdiati 2002 ).Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan ternak mamalia atau ternak ruminansia, karena pada unggas tidak memiliki gigi untuk melumat makanan, unggas menimbun makanan yang dimakannya dalam bentuk tembolok, suatu ventrikulum (pelebaran) esophagus yang tak terdapat pada ternak non-ruminansia lain seperti kelinci. Kemudian makanan tersebut dilunakkan sebelum masuk ke proventrikulus. Makanan secara cepat melewati proventrikulus ke ventrikulus atau ampela. Fungsi utama ampela adalah untuk menghancurkan makanan dan menggiling makanan kasar, dengan bantuan grit ( batu kecil dan pasir ) sampai menjadi bentuk pasta yang dapat masuk ke dalam usus halus. Setelah makanan ke dalam usus halus, pekerjaan pencernaan sama dengan hewan non-ruminansia lain yaitu babi, kelinci dan sebagainya.
Usus besar unggas sangat pendek jika dibandingkan dengan hewan nonruminansia lain,  terutama dengan babi dan manusia. Kenyataan ini dihubung kan dengan jalannya makanan di kolom dan sekum, diketahui bahwa ada aktivitas jasad renik dalam usus besar unggas tetapi sangat rendah jika dibandingkan dengan nonruminansia lain. Dinyatakan oleh ( Abun dan Indriani. 2003) bahwa:
a.       Pada ayam tidak terjadi proses pengunyahan dalam mulut karena ayam tidak
mempunyai gigi, tetapi di dalam ventrikulus terjadi fungsi yang mirip dengan gigi yaitu penghancuran makanan.
b.       Lambung yang menghasilkan asam lambung (HCl) dan dua enzim pepsin dan     renning merupakan ruang yang sederhana yang berfungsi sebagai tempat pencernaan dan penyimpan makanan.
c.        Sebagian besar pencernaan terjadi di dalam usus halus, disini terjadi pemecahan zat - zat pakan menjadi bentuk yang sederhana, dan hasil pemecahannya disalurkan ke dalam aliran darah melalui gerakan peristaltik di dalam usus halus terjadi penyerapan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh.
d.      Absorpsi hasil pencernaan makanan terjadi sebagian besar di dalam usus halus, sebagian bahan-bahan yang tidak diserap dan tidak tercerna dalam usus halus masuk ke dalam usus besar.
2.3.3.      Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nilai Energi Metabolis
Faktor – faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis dapat digolangkan dalam dua faktor yaitu faktor dalam atau intrinsik dan faktor luar atau ekstrinsik. Faktor dalam berkaitan dengan pembawaan genetis sehubungan dengan tipe, bangsa, starin, umur dan jenis kelamin. Faktor luar merupakan faktor dari luar tubuh unggas misalnya jenis bahan pakan, metode dertiminasi yang digunakan serta lingkungan yang berhubungan dengan ketinggian tempat (Achmanu, 1992). Metode yang digunakan berkaitan dengan cara pemberian pakan, jumlah komsumsi, lama pengumpulan ekskreta serta cara pengeringan ekskreta yang dihasilkan.


2.3.4.      Penentuan Energi Metabolisme pada Ayam Kampung
Prinsip penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses ( Murdiati 2002 ). Menurut Indarto, (1997), kegunaan penentuan kecernaan adalah untuk mendapatkan nilai bahan makanan secara kasar sebab hanya bahan makanan yang dapat dicerna yang dapat diserap oleh tubuh . Metode yang digunakan untuk menilai energi metabolis yaitu metode konvensional atau total collecting methods, yang terdiri dari periode pendahuluan selama 4-10 hari dengan tujuan membiasakan ternak pada ransum dan keadaan lingkungan sekitarnya dan menghilangkan sisa-sisa makanan sebelum perlakuan ( Riyanti. 2000 ). Sedangkan periode koleksi feses dilakukan selama 5-15 hari, dengan waktu koleksi 24 jam ( Frandson, 1992 ). Metode lainnya yaitu metode kuantitatif (metode indikator)  yaitu menambahkan indikator dalam ransum yang tidak dicerna   ( Murdiati. 2002 ). Untuk mengukur kecernaan pada unggas dibutuhakan teknik khusus karena feses dan urin dikeluarkan secara bersamaan sehingga menyebabkan bercampurnya N urin  dan feses (Murdianti ,2002 ). Hal tersebut menurut ( Abun dan Indriani, 2003) dapat diusahakan dengan jalan pemisahan N-urin dalam feses secara kimia atau dilakukan pembedahan untuk koleksi sampel dari usus besar. Metode pembunuhan terhadap ayam kampung  untuk koleksi sampel dari usus besar telah dikembangkan oleh Indarto, (1997). Metode pengambilan sampel dari usus besar dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan dan penyerapan telah terjadi pada usus halus dan tidak terjadi lagi pada usus besar. Penyerapan zat-zat makanan terjadi di dalam usus halus. Metode pengambilan sampel dari usus besar lebih akurat Fardiaz. ( 1999 ) Metode kuantitatif ini terdiri dari dua periode yaitu periode adaptasi dan periode pengambilan sampel.
2.4. Energi Metabolis
Energi metabolisme yang diperlukan ayam berbeda, sesuai tingkat umurnya, jenis kelamin dan cuaca. Semakin tua ayam membutuhkan energi metabolisme lebih tinggi (Fadilah, 2004). Menurut Wahyu (2002), energi yang dikonsumsi oleh ayam digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh, produksi, menyelenggarakan aktivitas fisik dan mempertahankan temperatur tubuh yang normal. Fadillah (2004) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ayam kampung  pedaging periode starter 3080 kkal/kg ransum pada tingkat protein 24%, sedangkan periode finisher 3190 kkal/kg ransum pada tingkat protein 21%.
Rasyaf (1992) menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein yang mempunyai peranan penting pada pertumbuhan ayam kampung selama masa pertumbuhan.
Menurut Scott ett al. (1982) bahwa energi berasal dari bahasa Yunani yaitu  en berarti di dalam dan ergon berarti kerja. Hewan mempergunakan makanannya tidak lain untuk kebutuhan energi yaitu untuk fungsi-fungsi tubuh dan untuk melancarkan reaksi-reaksi sintesis dari tubuh. Jull (1979) menyatakan bahwa energi diperoleh dari konsumsi makanan, pencernaan dan metabolis untuk pelepasan energi.
Energi diukur dengan kalori. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa satu gram kalori adalah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 gram air 10C dari 14,5- 15,50C. Satu kilokalori adalah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 kilogram air 10C (14,5-15,50C). Energi yang terdapat dalam bahan makanan merupakan nilai energi kimia yang dapat diukur dengan merubahnya kedalam energi panas. Panas ini timbul sebagai akibat terbakarnya zat-zat organik dalam bahan makanan seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang merupakan zat-zat organik dalam bahan makanan. Menurut Mc. Donald dkk. (1994) proses perubahan menjadi panas ini dapat dilakukan dengan membakar bahan makanan kedalam suaatu alat yang disebut Oxigen Bomb Calorimeter, dengan jumlah panas yang dihasilkan sebagai energi bruto.
Menurut Aggorodi (1985) Energi Metabolis merupakan energi makanan dikurangi energi yang hilang dalam feses, pembakaran gas-gas dan urin. Adapun gasgas yang dihasilkan unggas dapat berupa uap air, gas amoniak (NH3), asam sulfide (H2S) dan metana (Sibbald, 1982 dalam Sundari, 2004). Hartadi dkk. (1993) menyatakan bahwa untuk unggas dan monogastrik gas-gas hasil proses pencernaan dapat diabaikan. Energi metabolis memperlihatkan nilai suatu bahan makanan untuk memelihara suhu tubuh. Sejalan dengan pendapat Cullison (1982) yang mengemukakan bahwa energi metabolis adalah energi yang digunakan untuk memetabolisme zat-zat makanan dalam tubuh, satuannya dinyatakan dengan kilokalori per kilogram. Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan Kingston ett all (1982) bahwa energi metabolis merupakan energi yang dipergunakan pada pembentukkan dan perobakkan zat-zat makanan dalam tubuh.
Menurut Wahyu (2002) bahwa nilai Energi Metabolis dan beberapa bahan makanan dapat diperbaiki dengan pengolahan.. Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya dan akan berhenti makan apabila kebutuhan energi telah terpenuhi. Namun, energi dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian akan dibuang melalui feses dan urin. Sejalan dengan pendapat Scott ett al. (1982) oleh karenanya, penyusunan ransum untuk unggas terutama ayam sebaiknya didasarkan pada perhitungan energinya (Scott ett al., 1982). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya makanan yang dikonsumsi. Konsumsi ransum umumnya meningkat jika ransum yang diberikan mengandung nilai energi yang rendah.
Menurut Achmanu (1992) mengatakan bahwa nilai energy metabolis depengaruhi oleh factor intristik (dalam) yaitu jenis kelamin dan umur serta factor ekstrinsik (luar) yaitu lingkungan dan bahan pakan.







BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang, penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai Maret 2012.  Sedangkan analisis energi metabolis dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Ayam Kampung
Ayam yang digunakan adalah ayam kampung  persilangan antara ayam Kedu dengan ayam Bangkok, dengan jenis kelamin betina sebanyak 20 ekor. Ayam yang digunakan adalah ayam kampung betina berumur 60 hari dengan rata-rata bobot badan ayam kampung 762.85  gram .
3.2.2 Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu atau kandang baterai supaya mudah dalam proses penampungan ekskreta ayam. Kandang sebanyak 20 petak dengan ukuran tinggi 40 cm, lebar  18 cm, dan panjang masing – masing 60 cm dimana setiap petak diisi 1 ekor ayam  dan  masing – masing  petak dilengkapi dengan tempat  pakan, tempat minum, wadah untuk menampung ekskreta dan penerangan lampu pijar, timbangan yang digunakan untuk menimbang ayam dan ekskreta ayam yang diteliti serta peralatan prosesing ayam meliputi : timbangan analitik,  plastik untuk menanpung ekskreta dan sendok sedangkan Peralatan kebersihan kandang meliputi : sapu, ember, sakop.
Persiapan kandang metabolis meliputi:
-          Sanitasi kandang.
-          Penyediaan tempat pakan, minum dan tempat penampung ekskreta.
-          Identifikasi perlakuan pada kandang.
Gambar. 1 Lay Out Kandang Yang Gunakan Saat Penelitian
3.3 Pakan
3.3.1 Perlakuan Protein Pakan
            Pakan perlakuan adalah pakan dengan tingkat protein berbeda yaitu 20,19,18 dan 17%. Kandungan zat makanan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 5 dan ransum perlakuan dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 5. Kandungan Zat Makanan yang Digunakan
No
Bahan Pakan

EM
PK
LK
SK
Ca
P









1
*Jagung Kuning

2935.772
9.39
4.58
2.9
0.82
0.17
2
**Bekatul

1451.853
10.64
14.42
6.42
0.0618
0.16
3
Konsentrat Comfeed

2367.064
39.71
3.91
3.74
6.87
0.59
4
Minyak Kelapa Sawit

9000
0
100
0
0
0
5
Usfa Mineral

0
0
0
0
55
0
6
*Bungkil Kedelei

2955.05
55.98
1.22
7.78
0.87
0.5
Keterangan :
Ø  Usfa Mineral VFA USFA Surabaya.
Ø  Minyak kelapa sawit produksi PT SMART Tbk. Surabaya.
Ø  Hasil Analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Brawijaya Malang.
Ø  *Hasil Analisis Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
Ø  **Hasil analisis Laboratorium Biokimia Universitas Muhammadiyah Malang.

Tabel 6. Kandungan Nutrisi Kosentrat 

Bahan pakan
EM
(Kkal/Kg)
PK
(%)
LK
(%)
SK
(%)
Ca
(%)
P
(%)
BR1 COMFEED
-
21
3-7
5
0.9-1.1
0.6-0.9




Tabel 7. Susunan  Ransum Perlakuan
Bahan pakan

Komposisi Bahan

P1
Protein 20 %
P2
Protein 19 %
P3
Protein 18 %
P4
Protein 17 %
Jagung Kuning
-
60
60
61,3
64
Bekatul
-
7
8,6
9,4
9,4
Konsentrat Comfeed
-
22
22
22
20
Minyak Kelapa Sawit
-
2
2,6
2,7
2,8
Usfa Mineral
-
0,5
0,5
0,5
0,5
Bungkil Kedelai
-
8,5
6,3
4,1
3,3
Total
-
100
100
100
100

Hasil Perhitungan
Energi Metabolis (Kkl / Kg)
Protein Kasar       (%)
Lemak Kasar       (%)
Serat Kasar          (%)
Kalsium               (%)
Pospor                 (%)
2815
20,197
6.7213
3.6735
2.3567
0,2855
2827,2
19,136
7.5252
3.6051
2.3385
0,2771
2821
18,119
7.7732
3.523
2.3305
0,2696
2838,3
17.145
7.9089
3.4642
2.2083
0,2583
Keterangan : Hasil perhitungan berdasarkan kandungan bahan pakan tabel 5.
3.4  Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode percobaan  hayati dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Dengan 4 perlakuan  yaitu P1, P2, P3, P4 dan masing- masing perlakuan diulang 5 kali sehingga terdapat 20 unit percobaan dan setiap ulangan terdri dari 1 ekor ayam, sehingga ayam yang digunakan sebanyak 20 ekor ayam kampung. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut :

P1 = Pakan dengan kadar protein 20 %
P2 = Pakan dengan kadar protein 19 %
P3 = Pakan dengan kadar protein 18 %
P4 = Pakan dengan kadar protein 17 %
Penjelasan Ransum perlakuan dapa dilihat pada tebel 7.

3.5  Prosedur Percobaan
Menyiapkan kandang individu dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing -  masing 60, 18 dan 40 cm yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum serta bak tempat penampung ekskreta yang dibawahnya  dilapisi lembaran plastik. Ada beberapa tahap dalam prosedur percobaan yaitu antara lain :
a.                Menimbang ayam dan memasukkan kedalam kandang sesuai dengan perlakuan.
b.               Ayam diberi pakan sesuai dengan perlakuan  secara adlibitum selama kurang lebih 4 hari dan dicatat konsumsi perhari perekor dengan menghitung pakan yang diberikan pada pagi hari dikurangi dengan pakan sisa pada sore hari.
c.              Dihitung rata -  rata konsumsi harian per individu.
d.               Pada hari ke 5 - 7 setiap ayam diberikan pakan sebanyak 80 % dari rata rata konsumsi harian.
e.                Pada hari ke 6 - 8 lembaran plastik diganti yang baru perhari dan mulailah pengamatan.
f.                Ekskreta ditampung dan dikumpulkan selama 3 hari, ditimbang dan  dikeringkan dibawah sinar matahari dan ditimbang lagi setelah kering.
g.               Diambil sampel ekskreta masing - masing individu sebanyak yang diperlukan untuk analisis kimia, demikian juga sampel dari pakan perlakuan.
h.               Analisis kimia meliputi sampel pakan perlakuan dan ekskreta dianalisa bahan kering dan gross energi.
i.                 Menghitung nilai energi metabolis dari konsumsi pakan perlakuan.
Alur rancangan penelitian dapat dilihat pada gambar 2.











 Penimbangan
Untuk mengetahui     bobot awal 

Pakan Perlakuan :
P 1 = Pakan dengan kadar protein 20 %
P 2 = Pakan dengan kadar protein 19 %
P 3 = Pakan dengan kadar protein 18 %
P 4 = Pakan dengan kadar protein 17 %

Perlakuan
Diberikan Pakan perlakuan diberikan 80 % dari konsumsi harian  Selama 3 hari
Pemberian  pakan perlakuan secara ad libitum
Masukan ayam secara individu
 







Ekskreta di keringkan

Pengumpulan ekskreta
Tiap hari selama 3 hari
Sampel ekskreta di analisis bahan
kering dan gross energi
 







Gambar. 2 Alur Rancangan Penelitian


3.6    Variabel Yang Diukur
Variabel yang diukur dalam penelitian kecernaan energi metabolis pada ayam kampung:
1.      Dicatat jumlah komsumsi pakan perlakuan perhari selama 3 hari per BK (bahan kering).
2.      Dicatat jumlah ekskreta perlakuan perhari selama 3 hari per BK (bahan kering) : sampel ekskreta per individu.
3.      Dianalisi nilai N pakan dan ekskreta dari pakan perlakuan : sampel pakan perlakuan dan ekskreta per individu.
4.      Dianalisis gross energi pakan dan ekskreta : sampel pakan perlakuan dan ekskreta per individu.
            Nilai AMEn (Apparent Metabolizable Energy) denga koreksi N dihitung menurut yang diberikan oleh Terpstra dan Janssen (1976) sebagai berikut:
AMEn = C dW-8,73 (N – dT) kkal/kg.
Dimana:
AMEn = ” Apparent Metabolizable Energy ” dengan koreksi N
 C        = Energi bruto dari 1kg bahan pakan yang diteliti (kkal).
 d         = Energi bruto dengan 1 kg ekskreta yang di dapat per kg bahan pakan
 W       = Energi bruto dari 1 kg ekskreta yang didapat (kkal).
8,73     = Imbangan kandungan nitrogen yang  masuk dengan nitrogen yang
 keluar melalui ekskreta.
 N        = Jumlah gram nitrogen dari 1kg bahan pakan.
 T         = Jumlah gram nitrogen dari 1 kg ekskreta yang di dapat.
Metode Forel feeding menurut terpstra dan Janssen (1976) ini dapat dikatakan metode tercepat dalam determinasi nilai energi metabolisme bahan pakan dan diperlukan jumlah sampel lebih sedikit dan memerlukan pakan basal seperti halnya pada determinasi nilai AMEn.
3.7  Analisa Statistik
            Data penelitian dianalisa dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Menurut (Yitnosumarto 1993) apabila terjadi perbedaan yang sangat nyata maka dilanjutkan dengan Uji BNT.
Adapun model matematika Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah :
Yij  =  µ + Ti + Ɛij
Dimana :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = Nilai Tengah Umum
Ti =  Pengaruh perlakuan ke-i
Ɛij = Kesalahan Galat percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
3.8 Batasan Istilah
 Energi Metabolis : Ukuran nilai kandungan suatu bahan pakan karena energi bruto tidak dapat sepenuhnya menggambarkan energi yang dimanfaatkan oleh unggas karena sebagian zat- zat makanan tidak dapat dicerna atau dapat dicerna tetapi tidak dapat diserap oleh tubuh.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Pakan Dan Jumlah Ekskreta
Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya dan akan berhenti makan apabila kebutuhan energinya telah terpenuhi. Namun, energi dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian akan dibuang melalui feses dan urin. Penggunaan ransum seimbang dapat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ayam kampung betina. Konsumsi ayam kampung betina selama penelitian dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.
Tabel  8. Konsumsi Pakan dan Jumlah Ekskreta Ayam Kampung Betina

Perlakuan
Jumlah pakan
selama penelitian
Bobot
Ekskreta/BK

d
Pemberian/hr/ekor
Kons 3 hari/BK
P1
45
114.88
38.20±0.84
0.30±0.01
P2
45
114.67
37.60±1.14
0.29±0.01
P3
45
114.28
37.40±1.14
0.29±0.01
P4
45
114.54
36.50±1.12
0.28±0.01
Keterangan : d : rataan bobot ekskreta dalam 1 kg bahan pakan
            Data pada Tabel 8 diatas di dapat berdasarkan metode determinasi nilai AMEn  menurut Terpstra dan Janssen (1976) yang disebut dengan The Quantitative Methods,  yang digunakan untuk menilai energi metabolis dan terdiri dari periode pendahuluan selama  4-10 hari dengan tujuan membiasakan ternak pada ransum dan keadaan lingkungan sekitarnya dan menghilangkan sisa-sisa makanan sebelum perlakuan (Riyanti, 2000), serta dilanjutkan periode koleksi ekskreta yang dilakukan selama 3 hari, dengan waktu koleksi 24 jam (Frandson, 1992).
            Tabel 8 menunjukkan bahwa konsumsi pakan selama 7 hari di dapat rata-rata 45 gram. Jadi, ransum yang di berikan sebanyak 45 gram per hari terkonsumsi semua. Kondisi ini dapat terjadi di karenakan diberlakukan pembatasan pakan (restricted feed). Pembatasan pakan ini penting karena dapat mengontrol pakan yang terkonsumsi sehingga dapat mengetahui tingkat konsumsi pakan ayam kampung.
            Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan bobot ekskreta adalah rata-rata 29.94 gram. Ditinjau dari bobot ekskretanya, diindikasikan kecernaan pakan pada penelitian ini cukup baik, dikarenakan ditinjau dari defenisi kecernaan pakan yang dinyatakan oleh Murdiati (2002), adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang di konsumsi dikurangi dengan bnyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses. Selain itu, bobot ekskreta menunjukkan bahwa pakan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan dalam tubuh ayam tidak terlalu banyak sesuai dengan pendapat Kartasudjana (2002) yang menyatakan bahwa zat makanan yang terdapat di dalam ekskreta dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali.
            Konsumsi setiap bahan pakan atau ransum menurut Frandson (1992), di pengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi bahan pakan atau ransum, tingkat pemberian pakan, temperatur lingkungan dan umur ternak. kecernaan pakan berarti juga kecernaan bahan pakan yang memiliki kandungan nutrisi berbeda. Salah astu kandungan nutrisi pakan yang penting untuk diketahui tingkat kecernaannya adalah Gross Energy (GE).

4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Energi Metabolis
            Energi metabolis (EM), menurut Anggrodi (1985) merupakan energi makanan dikurangi energi yang hilang dalam feses, pembakaran gas-gas dan urin. Energi dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian akan dibuang melalui feses dan urine. Hal ini dikarenakan bahan pakan yang diberikan kepada ayam mengandung protein yang merupakan persenyawaan komponen nitrogen dan oleh Sundari (2004) dinyatakan bahwa dalam perhitungan energi metabolis digunakan perhitungan berdasarkan keseimbangan nitrogen atau “zero nitrogen balance”, yang diberikan tanda AMEn.        
Nilai AMEn yang dihitung pada perhitungan ini digunakan metode perhitungan EM dengan AMEn. Hasil perhitungan nilai AMEn dalam penelitian ini disajikan pada tabel 9 berikut ini.
    Tabel 9. Rataan Nilai Nitrogen Pakan , Nitrogen Ekskreta dan Nilai AMEn
Perlakuan
N
T
AMEn
P1
3.66±0
3.87±0
2997.86±89.47
P2
3.50±0
3.87±0
2874.84±78.18
P3
3.30±0
3.76±0
2864.72±55.24
P4
3.15±0
3.28±0
2856.65±39.69
Keterangan :
N            : Nilai Kandungan Nitrogen Dalam Bahan Pakan
T             : Nilai Kandungan Nitrogen Dalam Ekskreta
AMEn    : Apparent Metabolizable Energy terkoreksi nilai N

Table 9 ,menunjukkan nilai nitrogen dari  pakan berkisar antara 3,66 dari perlakuan P1 (protein tertinggi) - 3,15 didapat pada perlakuan P4 (protein rendah). Sedangkan nilai nitrogen ekskreta berkisar antara 3,87 dari perlakuan P1 – 3,28 dari perlakuan P4. Tidak banyaknya perbedaan nitrogen dari ekskreta dengan nitrogen dalam pakan disebabkan karena dalam ekskreta selain zat makanan yang tidak tercerna juga tercampur dengan reruntuhan sel, mukrosa usus, endogen pencernaan dari urin yang semuanya juga mengandung nitrogen.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat diketahui kandungan N dalam ekskreta berada pada kisaran 3,28 – 3,87 % dan kandungan N dalam pakan berada pada kisaran 3,15 – 3,66 %. Tabel 8 menunjukkan data kandungan N tertinggi dalam pakan adalah pada pakan perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan kandungan protein kasar pakan perlakuan tertinggi di antara pakan perlakuan, ini sesuai juga dengan  kondisi yang terjadi dengan kandungan N dalam ekskreta yang berurutan dari P1 sampai dengan P4 . Tingginya kandungan N pakan dan N ekskreta P1 sesuai dengan rataan nilai AMEn yang juga menpunyai nilai tertinggi diatara perlakuan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Ikhsan, Reo dan Niswi (2012) yang menyebutkan bahwa pada ransum dengan PK pakan 19% adalah memberikan hasil energi metabolis terbaik pada ayam kampung. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis kelamin dan daya cerna pakan yang berbeda pula. Ditambahkan  dengan pendapat rasyaf (1992) yang menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein, dan oleh Pesti (2009), dikarenakan level protein yang berbeda dalam pakan merupakan pembatas dalam pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan merupakan pertimbangan utama.

Hasil analisa yang ditunjukkan pada tabel 9 menunjukkan bahwa nilai AMEn antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Achmanu (1992), yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis dapat digolongkan dalam 2 faktor, yaitu faktor dalam atau intristik yang berkaitan dengan pembawaan genetis sehubungan dengan tipe, bangsa, strain, umur dan jenis kelamin serta faktor luar atau ekstrinsik yang merupakan faktor luar tubuh unggas misalnya jenis bahan pakan, penggunaan metode determinasi serta lingkungan yang berhubungan dengan ketinggian tempat. Ditambahkan oleh fadilah (2004), yang menyatakan bahwa energi yang diperlukan ayam berbeda, sesuai dengan tingkat umur,  jenis kelamin dan cuaca. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar