Kamis, 13 Maret 2014

Energi Metabolis

EFEK PROTEIN PADA RANSUM AYAM KAMPUNG BETINA
TERHADAP ENERGI METABOLIS

Arman Ndruru, ¹ Prof. Dr. Ir. Achmanu Zakaria, ² Akadyah Afrila, S.Pt, MP
Fakultas Peternakan Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang


RINGKASAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang, penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai Maret 2012.  Sedangkan analisis energi metabolis dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui level protein yang memberikan pengaruh terhadap energi metabolis pada ayam kampung betina.

Materi yang digunakan adalah ayam kampung  persilangan antara ayam Kedu dengan ayam Bangkok, dengan jenis kelamin betina sebanyak 20 ekor. Ayam yang digunakan adalah ayam kampung betina berumur 60 hari dengan rata-rata bobot badan ayam kampung 760.55  gram dan koefisien keragaman 11.64%. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode percobaan  hayati dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Dengan 4 perlakuan  yaitu P1, P2, P3, P4 dan masing- masing perlakuan diulang 5 kali. Pakan perlakuan yang digunakan terdiri dari : P1 : Protein Kasar 20%, P2 : Protein kasar 19%, P3 : Protein Kasar 17% dan P4 : Protein Kasar 17%. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah analisa kandungan N pakan, Ekskreta dan nilai AMEn.

Hasil analisa menunjukan bahwa penggunaan level protein yang berbeda antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P<0,05) terhadap kandungan N dalam ekskreta dan nilai AMEn.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa level protein yang berbeda pada ransum tidak memberikan pengaruh terhadap nilai AMEn.

Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh tingkat Energi Metabolis terhadap pertumbuhan ayam kampung betina dengan menggunakan objek yang sama dan kajian yang lebih beragam.




Kata kunci : Ayam Kampung, Energi Metabolis


PENDAHULUAN

Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi ayam buras dijumpai di kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan menaikkan pendapatan peternak.

Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Anonimous.,2011). Hal ini terlihat dari peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2001 – 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 – 2009 konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton (wahyu, 2002). Mempertimbangkan potensi itu, perlu diupayakan jalan keluar untuk meningkatkan populasi dan produktivitasnya.


Kondisi yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam kampung adalah rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi (Parakkasi, 1990), terutama sekali pemberian pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Keadaan tersebut disebabkan karena belum cukupnya informasi mengenai kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung. Peningkatan populasi, produksi dan efisiensi usaha ayam kampung, perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Murtidjo, 2006).

Keberhasilan suatu usaha peternakan sangat ditentukan oleh tiga faktor yang sama pentingnya, yaitu : Breeding, Feeding dan Management. Namun, dilihat dari total biaya produksi dalam usaha peternakan, maka kontribusi pakan yang tinggi yaitu sekitar 60-70%. Kenyataan dilapangan menunjukkan masih banyak peternak yang memberikan pakan tanpa memperhatikan kualitas, kuantitas dan teknik pemberiannya.

Mengingat biaya pakan dapat mencapai 60-70% dari keseluruhan biaya produksi (Murtidjo, 2006) maka salah satu alternatif adalah menekan biaya pakan dengan cara meramu sendiri bahan pakan dan tanpa menggunakan bahan pakan dari pabrik.

Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18% - 21,4% sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing - masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu diteliti.

Manajemen pemberian ransum yang tepat dibutuhkan untuk mendukung produksi karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi ayam petelur. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan oleh peternak pada umumnya adalah dengan mengatur jumlah porsi pemberian ransum 2 kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan siang. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan beberapa peternakan ayam petelur berbeda-beda, khususnya porsi pemberian ransum pagi dan siang, antara lain 50 : 50, 40 : 60, 60 : 40, atau 30 : 70 (Indreswari, 2007).

Apakah level protein ransum yang berbeda dapat memberikan perbedaan pengaruh terhadap nilai energi metabolis pada ayam kampung betina.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari dan mengetahui level protein yang memberikan hasil terbak terhadap energi metabolis pada ayam kampung betina.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khasanah ilmiah maupun penerapannya bagi para petani peternak. Dari aspek ilmiah hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi tentang kebutuhan nutrisi ayam kampung, dan tentunya yang akan memberikan pengaruh secara ekonomis terhadap peternak ayam kampung tersebut.

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah level protein pada ransum ayam kampung betina tidak memberikan pengaruh terhadap nilai energi metabolis.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang, penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Maret 2012.  Sedangkan analisis energi metabolis dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam kampung  persilangan antara ayam Kedu dengan ayam Bangkok, dengan jenis kelamin betina sebanyak 20 ekor. Ayam yang digunakan adalah ayam kampung betina berumur 60 hari dengan rata-rata bobot badan ayam kampung 760.55  gram .

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu atau kandang baterai supaya mudah dalam proses penampungan ekskreta ayam. Kandang sebanyak 20 petak dengan ukuran tinggi 40 cm, lebar  18 cm, dan panjang masing – masing 60 cm dimana setiap petak diisi 1 ekor ayam  dan  masing – masing  petak dilengkapi dengan tempat  pakan, tempat minum, wadah untuk menampung ekskreta dan penerangan lampu pijar, timbangan yang digunakan untuk menimbang ayam dan ekskreta ayam yang diteliti serta peralatan prosesing ayam meliputi : timbangan analitik,  plastik untuk menanpung ekskreta dan sendok sedangkan Peralatan kebersihan kandang meliputi : sapu, ember, sakop.

Pakan perlakuan adalah pakan dengan tingkat protein berbeda yaitu 20,19,18 dan 17%. Kandungan zat makanan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1 berikut


Tabel 1. Susunan  Ransum Perlakuan

Bahan pakan

Komposisi
Bahan

P1
Protein 20 %
P2
Protein 19 %
P3
Protein 18 %
P4
Protein 17 %
Jagung Kuning
-
60
60
61,3
64
Bekatul
-
7
8,6
9,4
9,4
Konsentrat Comfeed
-
22
22
22
20
Minyak Kelapa Sawit
-
2
2,6
2,7
2,8
Usfa Mineral
-
0,5
0,5
0,5
0,5
Bungkil Kedelai
-
8,5
6,3
4,1
3,3
Total
-
100
100
100
100
Hasil Perhitungan
EM   (Kkl / Kg)
Protein Kasar       (%)
Lemak Kasar       (%)
Serat Kasar          (%)
Kalsium               (%)
Pospor                 (%)
2815
20,197
6.7213
3.6735
2.3567
0,2855
2827,2
19,136
7.5252
3.6051
2.3385
0,2771
2821
18,119
7.7732
3.523
2.3305
0,2696
2838,3
17.145
7.9089
3.4642
2.2083
0,2583
Keterangan : Hasil perhitungan berdasarkan kandungan bahan pakan tabel 1 diatas.








HASIL DAN PEMBAHASAN

Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya dan akan berhenti makan apabila kebutuhan energinya telah terpenuhi. Namun, energi dalam ransum tidak dapat dipergunakan seluruhnya oleh ayam, karena sebagian akan dibuang melalui feses dan urin. Data konsumsi pakan dan bobot ekskreta dapat dilihat pada tebel 2 berikut.

Tabel 2. Konsumsi pakan dan Bobot ekskreta ayam kampung betina

Perlakuan
Jumlah pakan
selama penelitian
Bobot
Ekskreta/BK

d
Pemberian/hr/ekor
Kons 3 hari/BK
P1
45
114.88
38.20±0.84
0.30±0.01
P2
45
114.67
37.60±1.14
0.29±0.01
P3
45
114.28
37.40±1.14
0.29±0.01
P4
45
114.54
36.50±1.12
0.28±0.01

Keterangan : rataan bobot ekskreta dalam 1 kg bahan pakan



Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan bobot ekskreta adalah rata-rata 29.94 gram. Ditinjau dari bobot ekskretanya, diindikasikan kecernaan pakan pada penelitian ini cukup baik, dikarenakan ditinjau dari defenisi kecernaan pakan yang dinyatakan oleh Murdiati (2002), adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang di konsumsi dikurangi dengan bnyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses. Selain itu, bobot ekskreta menunjukkan bahwa pakan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan dalam tubuh ayam tidak terlalu banyak sesuai dengan pendapat Kartasudjana (2002) yang menyatakan bahwa zat makanan yang terdapat di dalam ekskreta dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali.

Konsumsi setiap bahan pakan atau ransum menurut Frandson (1992), di pengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi bahan pakan atau ransum, tingkat pemberian pakan, temperatur lingkungan dan umur ternak. kecernaan pakan berarti juga kecernaan bahan pakan yang memiliki kandungan nutrisi berbeda. Salah astu kandungan nutrisi pakan yang penting untuk diketahui tingkat kecernaannya adalah Gross Energy (GE).

Pada perhitungan ini digunakan metode perhitungan EM dengan AMEn. Hasil perhitungan nilai AMEn dalam penelitian ini disajikan pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Rataan nilai nitrogen pakan , nitrogen ekskreta dan nilai AMEn
Perla
N
T
AMEn
P1
3.66±0
3.87±0
2997.86±89.47
P2
3.50±0
3.87±0
2874.84±78.18
P3
3.30±0
3.76±0
2864.72±55.24
P4
3.15±0
3.28±0
2856.65±39.69
Keterangan :
N : Nitrogen Pakan
T : Nitrogen Ekskreta
AMEn: Apparent Metabolizable Energy terkoreksi nilai N

Table 3 ,menunjukkan nilai nitrogen dari  pakan berkisar antara 3,66 dari perlakuan P1 (protein tertinggi) - 3,15 didapat pada perlakuan P4 (protein rendah). Sedangkan nilai nitrogen ekskreta berkisar antara 3,87 dari perlakuan P1 – 3,28 dari perlakuan P4. Tidak banyaknya perbedaan nitrogen dari ekskreta dengan nitrogen dalam pakan disebabkan karena dalam ekskreta selain zat makanan yang tidak tercerna juga tercampur dengan reruntuhan sel, mukrosa usus, endogen pencernaan dari urin yang semuanya juga mengandung nitrogen.

Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat diketahui kandungan N dalam ekskreta berada pada kisaran 3,28 – 3,87 % dan kandungan N dalam pakan berada pada kisaran 3,15 – 3,66 %. Tabel 8 menunjukkan data kandungan N tertinggi dalam pakan adalah pada pakan perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan kandungan protein kasar pakan perlakuan tertinggi di antara pakan perlakuan, ini sesuai juga dengan  kondisi yang terjadi dengan kandungan N dalam ekskreta yang berurutan dari P1 sampai dengan P4 . Tingginya kandungan N pakan dan N ekskreta P1 sesuai dengan rataan nilai AMEn yang juga menpunyai nilai tertinggi diatara perlakuan.

Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis kelamin dan daya cerna pakan yang berbeda pula. Ditambahkan  dengan pendapat rasyaf (1992) yang menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein, dan oleh Pesti (2009), dikarenakan level protein yang berbeda dalam pakan merupakan pembatas dalam pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan merupakan pertimbangan utama.

Hasil analisa yang ditunjukkan pada tabel 3 menunjukkan bahwa nilai AMEn antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Achmanu (1992), yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis dapat digolongkan dalam 2 faktor, yaitu faktor dalam atau intristik yang berkaitan dengan pembawaan genetis sehubungan dengan tipe, bangsa, strain, umur dan jenis kelamin serta faktor luar atau ekstrinsik yang merupakan faktor luar tubuh unggas misalnya jenis bahan pakan, penggunaan metode determinasi serta lingkungan yang berhubungan dengan ketinggian tempat. Ditambahkan oleh fadilah (2004), yang menyatakan bahwa energi yang diperlukan ayam berbeda, sesuai dengan tingkat umur,  jenis kelamin dan cuaca. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar